Minggu, 20 Mei 2012

CEMBURU ITU MENYAKITKAN


Aku menatap sepucuk surat yang sejak tadi siang diberikan padaku oleh wali kelasku. Perasaanku penuh dengan rasa senang dan bangga, aku harap orang tuaku juga seperti itu saat membaca isi dalam surat ini. Aku baru saja menjadi juara lomba melukis se-kotamadya dan aku akan maju tingkat se-Jakarta. Aku berharap dengan cara ini, aku sudah mendapatkan sedikit perhatian dari mereka.
Jujur saja, aku merasa tersingkirkan oleh saudara kembarku. Mama dan papa lebih memperhatikan Karina dibandingkan aku. Aku selalu berpikir dengan perbedaan perhatian yang mama dan papa kasih pada kami berdua karena Karina itu lebih cantik, berhati begitu lembut, lebih cerdas, dan dia seorang selebritis yang sedang naik daun. Dan aku berbeda jauh darinya. Meskipun wajah kami mirip, tetap saja kecantikanku tak seberapa dengan kecantikan Karina. Aku ini begitu tomboy, berbeda jauh dengan saudara kembarku yang begitu lembut dan manja. Aku juga tidak secerdas dia, aku hanya memiliki seperempat kecerdasan yang dia punya. Tetapi kalau sudah soal gambar dan melukis, aku jagonya. Buktinya, aku ditunjuk sekolah untuk memenangi beberapa kejuaraan.
Dan karena prestasi dan keseharian kami berbeda, aku bersekolah di SMA Cindera yang tak begitu keren dari sekolah Karina. Dia bersekolah di SMA Sentra Internasional School.
“Aku yakin, pasti kali ini papa dan mama mau datang ke lombaku satu minggu yang akan datang nanti,” kataku sendiri sambil tersenyum senang.
Aku berdiri dari ranjangku, lalu membuka pintu kamar dan berjalan keruang tengah. Disana sudah terlihat papa dan mama yang sedang istirahat sambil menonton televisi. Gerak jalanku semakin semangat saja, kali ini mereka berdua saja tanpa ada Karina yang selalu membuatku sakit hati.
Aku mengambil duduk tepat ditengah mereka berdua.
“Eh, anak papa belum tidur?” sahut papa.
Aku menggelengkan kepala. “Belum, Pah. Oh iya, aku mau kasih surat ini ke kalian,” ujarku lalu memberikan surat itu pada papa. “Aku kemarin menang lagi lomba melukis. Dan aku akan maju ke tingkat yang lebih tinggi. Aku ingin kalian datang ke lombaku nanti. Itu saat-saat terindahku,”
Mama menarik nafas pelan lalu mengelus lembut rambut panjangku yang begitu lebat. “Mama senang sekali kamu bisa menang, Kirana. Kapan acaranya?” ujar mama senang.
Aku tersenyum lebar. “Satu minggu lagi, ma,” jawabku semangat.
“Satu minggu lagi? Berarti itu hari Kamis?” lanjut papa dengan alis yang mulai mengkerut.
“Memangnya kenapa, pa?”
Mama memegang tangan kiriku dengan kedua tangannya. “Kir, kita pasti akan usahakan datang ke lomba itu dan memberi support untuk kamu. Yasudah, kamu tidur gih sana. Ini sudah malam, besok pagi kamu kan harus sekolah,” suruh mama.
Aku mengangguk pelan. “Aku tidur dulu yah pa, ma.” Sahutku, lalu bangkit dan berjalan menuju ke dalam kamar.

***

Esoknya, siang ini rumah begitu sepi. Aku menaruh tasku diatas sofa, lalu ke dapur. Disana terlihat bibi sedang asyik mengiris bawang merah untuk makan siangku. Begitulah kegiatan yang terjadi dirumah saat aku sudah pulang sekolah. Hanya terdengar suara gemericik air dibelakang.
“Bi, mama nemenin Karina lagi?” pertanyaan yang selalu aku lontarkan saat rumah sepi.
Bibi berhenti melakukan aktivitasnya sejenak. “Iya, Non. Non Karina kan hari ini ada syuting iklan terbaru, Non.”
Kenapa sih harus dia terus yang menjadi perhatian? Setiap aku ada lomba aja, mama nggak pernah tuh nemenin aku. Aku ngambil hasil raport aja harus sama bibi. Mama selalu membuat alasan. Dan alasannya itu pasti Karina, nggak ada yang lain. Aku benci Karina! Sampai kapanpun aku tak bisa memaafkan dia!
Aku langsung lari masuk kedalam kamarku, lalu kukunci pintunya. Aku duduk dibelakang pintu sambil menangis dengan sekeras-kerasnya.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!” teriakku. “Kenapa selalu dia? Kapan aku? Aku nggak pernah mendapatkan itu semua. Yang aku ingin sekarang hanya perhatian kalian aja! Aku nggak butuh yang lain!” ujarku lirih sambil terisak-isak.

***

Sarapan pagi ini sama seperti biasanya. Papa, mama, dan Karina asyik berbicang soal kegiatannya dari pagi sampai malam. Dan aku hanya sebagai pajangan belaka. Aku sendiri diam tak berkata. Karina, Karina, dan selalu Karina yang dinomor satukan. Dia selalu diberi vitamin. Sedangkan, aku seperti di tiadakan diantara mereka. Aku hanya dianggap bingkai foto yang tersenyum melihat kebahagiaan mereka.
“Karin, kegiatan kamu hari ini apa saja, nak? Ingat, kesehatan nomor satu,” sahut papa.
“Hari ini aku cuma pemotretan saja kok, Pah. Aku ingat terus kok. Tenang saja, Pah.” Jawabnya sambil memegang sesendok nasi goreng yang akan dimasukkannya kedalam mulutnya.
Aku berdiri hingga kursi yang ku duduki mundur kebelakang, sedikit membuat kebisingan. “Aku berangkat,”
Tanganku tiba-tiba saja dipegang Karina saat aku ingin berbalik, aku langsung berusaha menepisnya.
“Apa?” sahutku singkat tanpa melihatnya.
“Kamu kenapa nggak bareng aku sama mama? Kita kan sudah jarang berangkat bareng lagi sejak kita beda sekolah. Apalagi, sekarang kita sudah jarang sekali berbicara,”
“Nggak usah. Aku bisa kok naik bus,” jawabku kemudian berlalu meninggalkan keluarga yang begitu bahagia jika benar-benar aku tidak ada disana.
Karina berdiri lalu menatap kepergianku. “Kirana, kamu kenapa sih?” tanya Karina sedikit berteriak. Aku tak memperdulikannya dan tetap berjalan keluar rumah.

***

Hari itu tiba, lagi-lagi aku dibuat sedih oleh kedua orang tuaku. Lagi-lagi mereka membuat alasan yang sudah membuat kupingku sakit. Mama, selalu bilang “Hari ini Karin ada syutting, sayang. Mama harus selalu disampingnya. Dia kan masih junior di dunia entertain, jadi dia harus mendapat bimbingan. Mama pasti akan mendoakan yang terbaik untukmu.”. Dan papa, juga selalu bilang “Maaf Sayang, papa nggak bisa datang. Hari ini papa ada meeting, lalu harus menjemput mama dan Karina di lokasi. Lain waktu papa pasti akan usahakana datang ke acara kamu. Semoga kamu menang ya, sayang.”
Semua ini semakin membuatku membenci saudara kembarku itu. Semua perhatian tertuju padanya. Tapi aku masih sedikit bersyukur, karena ada Bi Inah yang  selalu menemaniku dan selalu mendengarkan keluh kesahku. Bi Inah begitu mengerti keadaanku. Tapi tetap saja, aku ingin juga mendapat perhatian dari kedua orang tuaku. Tentu saja itu keinginan semua anak sedunia.
“Non, Bibi datang kesini untuk mensupport non Kirana,”
Aku ternganga mendengar suara itu. Dan aku tau benar siapa dia. Aku menoleh kedepan. Aku tak bisa menyembunyikan kesedihan dan keharuanku sekarang. Aku langsung berlari kearah Bi Inah kemudian memeluknya sambil menangis.
“Bi, kenapa sih nggak ada yang peduli sama aku? Kenapa harus selalu Karina yang nomor satu? Aku capek, Bi. Aku pengin dapat perhatian dari mama papa,” curhatku sambil tersedu-sedu.
Bibi mengelus lembut rambutku. “Non nggak boleh ngomong kayak gitu. Kan sekarang sudah ada Bibi. Non jangan sedih lagi yah,”
Aku melepas pelukan kemudian membersihkan kedua pipiku yang sudah banjir akan air mata dengan punggung telapak tanganku.
“Bi, doain aku yah semoga bisa menang di lomba ini. Agar aku bisa membanggakan sekolahku dan...” aku terdiam sebentar. “Dan terutama bisa membanggakan mama dan papa, Bi.”
Bibi menggenggam kedua tanganku dengan senyum terindahnya. “Bibi pasti selalu doain yang terbaik untuk Non. Semoga orang tua Non bisa menjadi seperti yang Non mau. Ya sudah, sekarang Non jangan sedih lagi. Non harus membanggakan semuanya sekarang. Melukis yang indah ya, Non.” Seru Bibi memberiku semangat.
Aku tersenyum. “Terima kasih yah, Bi.”

***

Di lomba itu, aku melukis seekor burung sedang menatap langit begitu indahnya di sebuah dahan pohon. Dilukisan itu aku tambahkan setetes air mata di pinggir kelopak matanya. Aku sengaja menggambar itu. Itu menggambarkan suasana hatiku sejak dulu hingga kini. Seekor burung yang terasa seperti tinggal seorang diri tanpa ditemani siapapun. Kelompoknya tidak ada yang ingin bersamanya, semua menjauh. Dengan perasaan yang begitu sakit, burung itu menuangkan rasa dihatinya dengan tangisan.
Aku tersenyum haru menatap hasil gambarku. Aku berharap sekali, hasil kreasiku ini bisa membanggakan semua orang. Terutama orang tuaku. Aku merindukan sentuhan mereka, aku merindukan pelukan mereka, aku merindukan semua yang mereka berikan padaku dulu kecil. Tak apa kalau aku harus berpanas-panasan ditengah lapangan seperti ini, yang penting aku mendapatkan inspirasi. Dan tak lupa berdoa agar bisa membanggakan semuanya.
Hanya berselang beberapa menit, lomba itu selesai. Tinggal menunggu hasilnya tiga puluh menit kedepan. Aku menghampiri Bibi yang sedang komat-kamit nggak jelas dipinggir lapangan.
Dahiku mengernyit kemudian mengagetkannya dengan menepuk punggungnya. “Hayo, Bibi lagi ngapain? Kok bibirnya komat-kamit gitu? Lagi baca mantra, Bi?” sahutku dilanjut dengan tawa.
“Eh, Non. Ngagetin aja bisanya,” Bibi menepuk tanganku. “Bibi ini lagi doain kamu biar menang. Kali saja mantra Bibi berhasil,” ucap Bibi cekikikan.
“Ah Bibi ada-ada saja. Yaa... semoga saja aku menang, Bi.”
“Harus optimis ya, Non. Bibi saja optimis kalau Non yang akan menang,” Bibi memberi semangat.
Aku tersenyum menatap Bibi. Terima kasih, Bi. Batinku.

***

“Sore ini saya akan mengumumkan siapa pemenang di acara lomba melukis FL2SN se-Jakarta. Baik, saya tidak akan berpanjang lebar. Saya akan mengumumkan siapa juara-juara yang akan melanjutkan lomba melukis Nasional. Pasti kalian sudah tak sabar kan?” cerocos pembawa acara itu.
Aku terus-terusan berdoa agar aku diberikan jalan untuk dapat membawa piala kerumah. Bibi pun juga tak lepas dari komat-kamitnya. Tapi itu tak menjadi masalah bagiku. Karena Bibi berdoa untuk kebaikan diriku.
Semua penonton  maupun peserta, wajahnya berubah menjadi tegang.
Pembawa acara itu menatap ke sekelilingnya. “Wah sepertinya semuanya tegang yah! Baiklah akan saya umumkan sekarang juga.” Lelaki itu berdehem. “Juara ketiga adalaahh......” dia berusaha membuat panik semua orang. “Ryan Wardana..”
Orang yang memiliki nama yang baru saja disebutkan langsung melangkah maju ketengah lapangan dengan wajah yang berseri-seri. Semua penonton memberikan tepuk tangan dengan begitu semangat.
“Juara keduanya ialah...” lagi-lagi dia membuat aku dan semua penonton harap-harap cemas. “Gerda Simohang..”
Orang yang namanya baru saja dipanggil itu langsung berlari ketengah lapangan sambil menutup wajahnya yang memerah senang. Penonton membuat kegaduhan dengan tepuk tangan mereka.
Aku makin menekuk wajahku. Aku tak begitu yakin lagi aku akan memenangi ini. Karena aku hanya menggambarkan seekor burung yang tak akan dimengerti oleh orang lain. Aku mulai pasrah jika aku tak dapat memenangi lomba ini.
“Dan.. juara pertamanya adalah...” dia menatap semua penonton dan peserta. Semua peserta keringat dingin menanti siapa sang juara. “Zaina,” ucapannya terhenti saat seorang juri menghampirinya dan membisikkan sesuatu yang tak diketahui semua orang.
Ternyata benar aku gagal hari ini. Aku tidak bisa membanggakan semua orang dan orang tuaku. Aku langsung tertunduk.
“Bi, aku nggak menang. Lebih baik kita pulang,” pintaku.
“Non harus optimis dulu! Allah selalu memberikan keajaiban kepada umatnya. Kalau pengumuman selesai, baru kita pulang,” seru Bibi.
“Wah sepertinya ada kesalahan teknis semua. Saya sebelumnya meminta maaf kepada seluruh peserta dan penonton. Baik, saya teruskan kembali. Juara pertamanya yaitu, Kirana Flarinda,” teriak pembawa acara itu saat memberitakan juara pertama.
Aku mengangkat wajahku kemudian ternganga. Aku terdiam. Bibi melompat kegirangan lalu memelukku.
“Alhamdulillah, Non menang.” Teriaknya senang.
“Mana nih yang namanya Kirana Flarinda?”
Bibi menyenggolku. “Non, maju!”
Aku tersadar. “Eh iya, Bi.” Aku kemudian melangkah ketengah lapangan.
Pembawa acara itu terpanah melihatku, begitu juga penonton. “Hhhmm.. kamu bukannya Karina? Artis yang terkenal itu?”
Aku menarik nafas panjang. Kenapa Karina selalu membuat kekacauan sih?
“Aku Kirana, bukan Karina!” seruku.
Pembawa acara itu mengangguk. Mungkin tak mau aku mengamuk.
 Disana para pemenang mendapat piala, piagam, mendali, dan rangkaian bunga. Tetapi aku sudah tidak merasakan kemenangan itu. Bahkan hatiku makin sakit karena Karina anak menyebalkan itu.

***

Ternyata berkat usahaku itu, papa dan mama bisa luluh. Kami sekeluarga pergi bertamasya ke puncak. Tetapi sepertinya semua itu tetap saja percuma dan sia-sia. Mereka tetap memperdulikan Karina dibandingkan aku. Selama diperjalanan, mama, papa dan Karina saling bercengkerama. Dan aku hanya terlihat sebagai patung yang bisa bernafas saja. Walaupun sesekali Karina mengajakku berbicara, tetapi aku selalu menjawabnya dengan jutek. Dan mama selalu marah padaku.
“Kirana, kamu nggak boleh seperti itu sama saudara kembarmu. Diakan tetap saudaramu. Kamu tak boleh memperlakukannya begitu.” Seru mama.
Dan aku hanya diam sejuta kata.
Sesampainya disana, aku makin sakit hati. Ternyata kami bukan bertamasya merayakan keberhasilanku. Tetapi karena Karina ada pemotretan disana. Meskipun malamnya kami ke villa untuk bermalam bersama.
Papa dan mama begitu setia menemani Karina pemotretan. Aku yang hanya ditemani sebatang dahan kayu kemudian pergi dari tempat itu. Menjauh dari mereka. Aku ingin mencari tempat sepi untuk menuangkan semua isi hatiku. Aku berlari sejauh mungkin dengan air mata yang curi-curi kesempatan keluar dari mataku.
Dan akhirnya aku menemukan sebuah tempat yang indah. Diatas sebuah jurang yang tak begitu dalam, aku bisa melihat pemandangan yang begitu indah dari sana. Tetapi yang namanya jurang tetap saja jurang. Aku harus berhati-hati.
Aku duduk dibawah pohon sambil menangis begitu keras. “Kapan mereka berubah? Kapan aku bisa merasakan seperti yang dirasakan Karina? Kapan aku bisa merasakan itu lagi? Aku benci kamu Karina!!” teriakku. “Aku benci ini semua. Aku tak ingin di dunia ini lagi! Kalian bisa lebih bahagia bila tak ada aku,” ujarku lirih.
Aku mendengar ada suara gerak kaki yang akan mendekat, aku mulai menjauh.
“Apa aku punya salah sama kamu sampai kamu membenciku? Maafkan aku Kirana. Aku tak bermaksud mengambil semuanya darimu.” Aku sudah tau pasti siapa dia, Karina.
Aku berdiri lalu berbalik kearahnya kemudian mundur kebelakang.
“Kamu mau ngapain Kir? Kamu jangan nekat seperti itu!” seru Karina yang mulai panik.
“Tanpa ada aku didunia ini, kamu pasti akan lebih bahagia kan? Jadi, lebih baik aku tak ada didunia ini. Aku sudah terlalu sakit hati padamu. Mama dan papa hanya memperhatikanmu. Aku tak pernah mendapatkan itu semua sekarang. Aku yakin, kamu belum puas kalau aku belum mati.”
“Kamu bicara apa sih? Aku tak pernah berfikir seperti itu,”
“Mungkin kamu tak pernah berfikir seperti itu. Tapi itu semua nyata, Kar!” seruku.
Karina berusaha menjangkau ku, tetapi aku semakin menjauh kebelakang. Dan hingga aku terpleset dan jatuh.
Aaaaaaaaaaaaa...........................
Tiba-tiba sebuah tangan berhasil menggapai tanganku. Aku menoleh keatas. Jantungku mulai berdebar begitu kencang dari sebelumnya.
“Kirana, kamu pegang tanganku kuat-kuat,” sahutnya lalu berusaha menarikku keatas jurang.
“Kamu lebih baik lanjutin aktivitasmu daripada menolongku. Aku lebih bahagia mati!”
“Kamu nggak boleh bilang seperti itu.”
“Aku capek! Hatiku sudah terlalu sakit gara-gara kamu! Lepas tanganku!” seruku sambil berusaha melepas tanganku dari genggamannya. “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaa.................
“Kiranaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa...........................”

***

Aku menggerakkan beberapa jariku perlahan.
“Kirana, kamu sudah siuman?”
Aku begitu kenal suara itu. Perlahan aku membuka kedua mataku. Benar saja, aku masih ada didunia menyebalkan ini. Aku fikir, aku sudah di surga. Aku tak perlu merasakan yang namanya sakit hati lagi.
“Kenapa aku masih ada disini?” sahutku pelan.
“Kirana, kamu nggak boleh bicara seperti itu. Aku mau minta maaf sebelumnya sama kamu. Aku sudah merusak kebahagiaan saudaraku sendiri. Kir, kamu mengalami kepatahan pada tangan dan kakimu. Kamu juga mengalami kebocoran di kepalamu, darahnya keluar begitu banyak. Dan kamu harus mendapatkan donor darah. Kamu baru sadar sehari setelah operasi kemarin,” Kata Karina.
Terdengar suara orang membuka pintu. Terlihat mama dan papa datang lalu langsung menyerbuku dan memelukku.
“Kamu nggak apa-apa sayang? Alhamdulillah kamu sudah sembuh,” syukur papa.
Mama menggenggam kedua tanganku kemudian menangis. “Maafin mama, Sayang. Mama tau kenapa kamu bisa begini. Maaf jika mama selama ini selalu mengabaikan kamu. Mama selalu membanggakan saudara kembarmu. Mama mengakui kalau mama salah. Maka dari itu, mama mau minta maaf sama kamu. Mama janji, mama nggak akan ngelakuin itu lagi. Mama akan adil sama kalian berdua. Asalkan kalian bahagia.” Ujar Mama dengan suara purau.
“Papa juga minta maaf sama kamu. Harusnya papa adil sama anak papa sendiri. Ternyata papa selama ini belum bisa menjadi orang tua yang benar untuk kamu. Papa akan berubah untuk kebaikan kita bersama. Tidak ada yang iri dan tidak ada yang merasa dia sendiri. Kita harus kompak,” tambah papa.
Aku mulai mengeluarkan air mata. “Aku kira keadaan ini nggak akan berubah. Aku akan selalu tersingkir,” ujarku sedih. “Ternyata tidak. Aku maafin papa dan mama kok. Aku nggak mau jadi anak yang semakin durhaka. Maafin aku juga yah, Pa, Ma. Selama ini aku belum bisa jadi anak yang baik untuk papa dan mama,” ucapku sambil tersenyum haru.
“Kamu dan Karina sudah menjadi yang terbaik dihati papa dan mama,” jawab mama.
“Kirana, aku minta maaf sama kamu. Aku tau kamu sangat membenciku. Tetapi apakah aku bisa mendapatkan pintu maaf selebar-lebarnya dihatimu? Aku janji, aku akan berhenti menjadi selebritis demi kamu dan kita,” kata Karina.
Aku menggelengkan kepala. “Kamu nggak harus seperti itu, Karina. Kamu harus tetap jaga kariermu. Aku sudah memaafkanmu. Asalkan kita kompak, aku sudah bahagia sekali,”
“Terima kasih, Kirana. Kamu memang saudara kembarku yang paling baik,” ujar Karina kemudian memelukku.
Papa dan Mama tak ketinggalan memelukku. Meskipun rasa ngilu sempat menjalar ditubuhku. Tapi itu tak mematahkan kebahagiaanku sekarang. Sekarang aku sudah mendapatkan keutuhan keluarga. Aku tak merasa sendiri lagi. Aku begitu bersyukur atas keberkahan yang Tuhan beri padaku saat ini. Aku harap kebahagiaan ini takkan berhenti sampai disini.


TAMAT

1 komentar: