Aku
menatap sepucuk surat yang sejak tadi siang diberikan padaku oleh wali kelasku.
Perasaanku penuh dengan rasa senang dan bangga, aku harap orang tuaku juga
seperti itu saat membaca isi dalam surat ini. Aku baru saja menjadi juara lomba
melukis se-kotamadya dan aku akan maju tingkat se-Jakarta. Aku berharap dengan
cara ini, aku sudah mendapatkan sedikit perhatian dari mereka.
Jujur
saja, aku merasa tersingkirkan oleh saudara kembarku. Mama dan papa lebih
memperhatikan Karina dibandingkan aku. Aku selalu berpikir dengan perbedaan
perhatian yang mama dan papa kasih pada kami berdua karena Karina itu lebih
cantik, berhati begitu lembut, lebih cerdas, dan dia seorang selebritis yang
sedang naik daun. Dan aku berbeda jauh darinya. Meskipun wajah kami mirip,
tetap saja kecantikanku tak seberapa dengan kecantikan Karina. Aku ini begitu
tomboy, berbeda jauh dengan saudara kembarku yang begitu lembut dan manja. Aku
juga tidak secerdas dia, aku hanya memiliki seperempat kecerdasan yang dia
punya. Tetapi kalau sudah soal gambar dan melukis, aku jagonya. Buktinya, aku
ditunjuk sekolah untuk memenangi beberapa kejuaraan.
Dan
karena prestasi dan keseharian kami berbeda, aku bersekolah di SMA Cindera yang
tak begitu keren dari sekolah Karina. Dia bersekolah di SMA Sentra
Internasional School.
“Aku
yakin, pasti kali ini papa dan mama mau datang ke lombaku satu minggu yang akan
datang nanti,” kataku sendiri sambil tersenyum senang.
Aku
berdiri dari ranjangku, lalu membuka pintu kamar dan berjalan keruang tengah.
Disana sudah terlihat papa dan mama yang sedang istirahat sambil menonton
televisi. Gerak jalanku semakin semangat saja, kali ini mereka berdua saja
tanpa ada Karina yang selalu membuatku sakit hati.
Aku
mengambil duduk tepat ditengah mereka berdua.
“Eh,
anak papa belum tidur?” sahut papa.
Aku
menggelengkan kepala. “Belum, Pah. Oh iya, aku mau kasih surat ini ke kalian,”
ujarku lalu memberikan surat itu pada papa. “Aku kemarin menang lagi lomba
melukis. Dan aku akan maju ke tingkat yang lebih tinggi. Aku ingin kalian
datang ke lombaku nanti. Itu saat-saat terindahku,”
Mama
menarik nafas pelan lalu mengelus lembut rambut panjangku yang begitu lebat.
“Mama senang sekali kamu bisa menang, Kirana. Kapan acaranya?” ujar mama
senang.
Aku
tersenyum lebar. “Satu minggu lagi, ma,” jawabku semangat.
“Satu
minggu lagi? Berarti itu hari Kamis?” lanjut papa dengan alis yang mulai
mengkerut.
“Memangnya
kenapa, pa?”
Mama
memegang tangan kiriku dengan kedua tangannya. “Kir, kita pasti akan usahakan
datang ke lomba itu dan memberi support untuk kamu. Yasudah, kamu tidur gih
sana. Ini sudah malam, besok pagi kamu kan harus sekolah,” suruh mama.
Aku
mengangguk pelan. “Aku tidur dulu yah pa, ma.” Sahutku, lalu bangkit dan
berjalan menuju ke dalam kamar.
***
Esoknya,
siang ini rumah begitu sepi. Aku menaruh tasku diatas sofa, lalu ke dapur.
Disana terlihat bibi sedang asyik mengiris bawang merah untuk makan siangku.
Begitulah kegiatan yang terjadi dirumah saat aku sudah pulang sekolah. Hanya
terdengar suara gemericik air dibelakang.
“Bi,
mama nemenin Karina lagi?” pertanyaan yang selalu aku lontarkan saat rumah
sepi.
Bibi
berhenti melakukan aktivitasnya sejenak. “Iya, Non. Non Karina kan hari ini ada
syuting iklan terbaru, Non.”
Kenapa
sih harus dia terus yang menjadi perhatian? Setiap aku ada lomba aja, mama
nggak pernah tuh nemenin aku. Aku ngambil hasil raport aja harus sama bibi.
Mama selalu membuat alasan. Dan alasannya itu pasti Karina, nggak ada yang
lain. Aku benci Karina! Sampai kapanpun aku tak bisa memaafkan dia!
Aku
langsung lari masuk kedalam kamarku, lalu kukunci pintunya. Aku duduk
dibelakang pintu sambil menangis dengan sekeras-kerasnya.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
teriakku. “Kenapa selalu dia? Kapan aku? Aku nggak pernah mendapatkan itu
semua. Yang aku ingin sekarang hanya perhatian kalian aja! Aku nggak butuh yang
lain!” ujarku lirih sambil terisak-isak.
***
Sarapan
pagi ini sama seperti biasanya. Papa, mama, dan Karina asyik berbicang soal
kegiatannya dari pagi sampai malam. Dan aku hanya sebagai pajangan belaka. Aku
sendiri diam tak berkata. Karina, Karina, dan selalu Karina yang dinomor
satukan. Dia selalu diberi vitamin. Sedangkan, aku seperti di tiadakan diantara
mereka. Aku hanya dianggap bingkai foto yang tersenyum melihat kebahagiaan
mereka.
“Karin,
kegiatan kamu hari ini apa saja, nak? Ingat, kesehatan nomor satu,” sahut papa.
“Hari
ini aku cuma pemotretan saja kok, Pah. Aku ingat terus kok. Tenang saja, Pah.”
Jawabnya sambil memegang sesendok nasi goreng yang akan dimasukkannya kedalam
mulutnya.
Aku
berdiri hingga kursi yang ku duduki mundur kebelakang, sedikit membuat
kebisingan. “Aku berangkat,”
Tanganku
tiba-tiba saja dipegang Karina saat aku ingin berbalik, aku langsung berusaha
menepisnya.
“Apa?”
sahutku singkat tanpa melihatnya.
“Kamu
kenapa nggak bareng aku sama mama? Kita kan sudah jarang berangkat bareng lagi
sejak kita beda sekolah. Apalagi, sekarang kita sudah jarang sekali berbicara,”
“Nggak
usah. Aku bisa kok naik bus,” jawabku kemudian berlalu meninggalkan keluarga
yang begitu bahagia jika benar-benar aku tidak ada disana.
Karina
berdiri lalu menatap kepergianku. “Kirana, kamu kenapa sih?” tanya Karina
sedikit berteriak. Aku tak memperdulikannya dan tetap berjalan keluar rumah.
***
Hari
itu tiba, lagi-lagi aku dibuat sedih oleh kedua orang tuaku. Lagi-lagi mereka
membuat alasan yang sudah membuat kupingku sakit. Mama, selalu bilang “Hari ini Karin ada syutting, sayang. Mama
harus selalu disampingnya. Dia kan masih junior di dunia entertain, jadi dia
harus mendapat bimbingan. Mama pasti akan mendoakan yang terbaik untukmu.”.
Dan papa, juga selalu bilang “Maaf
Sayang, papa nggak bisa datang. Hari ini papa ada meeting, lalu harus menjemput
mama dan Karina di lokasi. Lain waktu papa pasti akan usahakana datang ke acara
kamu. Semoga kamu menang ya, sayang.”
Semua
ini semakin membuatku membenci saudara kembarku itu. Semua perhatian tertuju
padanya. Tapi aku masih sedikit bersyukur, karena ada Bi Inah yang selalu menemaniku dan selalu mendengarkan
keluh kesahku. Bi Inah begitu mengerti keadaanku. Tapi tetap saja, aku ingin
juga mendapat perhatian dari kedua orang tuaku. Tentu saja itu keinginan semua
anak sedunia.
“Non,
Bibi datang kesini untuk mensupport non Kirana,”
Aku
ternganga mendengar suara itu. Dan aku tau benar siapa dia. Aku menoleh
kedepan. Aku tak bisa menyembunyikan kesedihan dan keharuanku sekarang. Aku
langsung berlari kearah Bi Inah kemudian memeluknya sambil menangis.
“Bi,
kenapa sih nggak ada yang peduli sama aku? Kenapa harus selalu Karina yang
nomor satu? Aku capek, Bi. Aku pengin dapat perhatian dari mama papa,” curhatku
sambil tersedu-sedu.
Bibi
mengelus lembut rambutku. “Non nggak boleh ngomong kayak gitu. Kan sekarang
sudah ada Bibi. Non jangan sedih lagi yah,”
Aku
melepas pelukan kemudian membersihkan kedua pipiku yang sudah banjir akan air
mata dengan punggung telapak tanganku.
“Bi,
doain aku yah semoga bisa menang di lomba ini. Agar aku bisa membanggakan
sekolahku dan...” aku terdiam sebentar. “Dan terutama bisa membanggakan mama
dan papa, Bi.”
Bibi
menggenggam kedua tanganku dengan senyum terindahnya. “Bibi pasti selalu doain
yang terbaik untuk Non. Semoga orang tua Non bisa menjadi seperti yang Non mau.
Ya sudah, sekarang Non jangan sedih lagi. Non harus membanggakan semuanya
sekarang. Melukis yang indah ya, Non.” Seru Bibi memberiku semangat.
Aku
tersenyum. “Terima kasih yah, Bi.”
***
Di
lomba itu, aku melukis seekor burung sedang menatap langit begitu indahnya di
sebuah dahan pohon. Dilukisan itu aku tambahkan setetes air mata di pinggir
kelopak matanya. Aku sengaja menggambar itu. Itu menggambarkan suasana hatiku
sejak dulu hingga kini. Seekor burung yang terasa seperti tinggal seorang diri
tanpa ditemani siapapun. Kelompoknya tidak ada yang ingin bersamanya, semua
menjauh. Dengan perasaan yang begitu sakit, burung itu menuangkan rasa
dihatinya dengan tangisan.
Aku
tersenyum haru menatap hasil gambarku. Aku berharap sekali, hasil kreasiku ini
bisa membanggakan semua orang. Terutama orang tuaku. Aku merindukan sentuhan
mereka, aku merindukan pelukan mereka, aku merindukan semua yang mereka berikan
padaku dulu kecil. Tak apa kalau aku harus berpanas-panasan ditengah lapangan
seperti ini, yang penting aku mendapatkan inspirasi. Dan tak lupa berdoa agar
bisa membanggakan semuanya.
Hanya
berselang beberapa menit, lomba itu selesai. Tinggal menunggu hasilnya tiga
puluh menit kedepan. Aku menghampiri Bibi yang sedang komat-kamit nggak jelas
dipinggir lapangan.
Dahiku
mengernyit kemudian mengagetkannya dengan menepuk punggungnya. “Hayo, Bibi lagi
ngapain? Kok bibirnya komat-kamit gitu? Lagi baca mantra, Bi?” sahutku dilanjut
dengan tawa.
“Eh,
Non. Ngagetin aja bisanya,” Bibi menepuk tanganku. “Bibi ini lagi doain kamu
biar menang. Kali saja mantra Bibi berhasil,” ucap Bibi cekikikan.
“Ah
Bibi ada-ada saja. Yaa... semoga saja aku menang, Bi.”
“Harus
optimis ya, Non. Bibi saja optimis kalau Non yang akan menang,” Bibi memberi
semangat.
Aku
tersenyum menatap Bibi. Terima kasih, Bi. Batinku.
***
“Sore
ini saya akan mengumumkan siapa pemenang di acara lomba melukis FL2SN
se-Jakarta. Baik, saya tidak akan berpanjang lebar. Saya akan mengumumkan siapa
juara-juara yang akan melanjutkan lomba melukis Nasional. Pasti kalian sudah
tak sabar kan?” cerocos pembawa acara itu.
Aku
terus-terusan berdoa agar aku diberikan jalan untuk dapat membawa piala
kerumah. Bibi pun juga tak lepas dari komat-kamitnya. Tapi itu tak menjadi
masalah bagiku. Karena Bibi berdoa untuk kebaikan diriku.
Semua
penonton maupun peserta, wajahnya
berubah menjadi tegang.
Pembawa
acara itu menatap ke sekelilingnya. “Wah sepertinya semuanya tegang yah! Baiklah
akan saya umumkan sekarang juga.” Lelaki itu berdehem. “Juara ketiga
adalaahh......” dia berusaha membuat panik semua orang. “Ryan Wardana..”
Orang
yang memiliki nama yang baru saja disebutkan langsung melangkah maju ketengah
lapangan dengan wajah yang berseri-seri. Semua penonton memberikan tepuk tangan
dengan begitu semangat.
“Juara
keduanya ialah...” lagi-lagi dia membuat aku dan semua penonton harap-harap
cemas. “Gerda Simohang..”
Orang
yang namanya baru saja dipanggil itu langsung berlari ketengah lapangan sambil
menutup wajahnya yang memerah senang. Penonton membuat kegaduhan dengan tepuk
tangan mereka.
Aku
makin menekuk wajahku. Aku tak begitu yakin lagi aku akan memenangi ini. Karena
aku hanya menggambarkan seekor burung yang tak akan dimengerti oleh orang lain.
Aku mulai pasrah jika aku tak dapat memenangi lomba ini.
“Dan..
juara pertamanya adalah...” dia menatap semua penonton dan peserta. Semua peserta
keringat dingin menanti siapa sang juara. “Zaina,” ucapannya terhenti saat
seorang juri menghampirinya dan membisikkan sesuatu yang tak diketahui semua
orang.
Ternyata
benar aku gagal hari ini. Aku tidak bisa membanggakan semua orang dan orang
tuaku. Aku langsung tertunduk.
“Bi,
aku nggak menang. Lebih baik kita pulang,” pintaku.
“Non
harus optimis dulu! Allah selalu memberikan keajaiban kepada umatnya. Kalau pengumuman
selesai, baru kita pulang,” seru Bibi.
“Wah
sepertinya ada kesalahan teknis semua. Saya sebelumnya meminta maaf kepada
seluruh peserta dan penonton. Baik, saya teruskan kembali. Juara pertamanya
yaitu, Kirana Flarinda,” teriak pembawa acara itu saat memberitakan juara
pertama.
Aku
mengangkat wajahku kemudian ternganga. Aku terdiam. Bibi melompat kegirangan
lalu memelukku.
“Alhamdulillah,
Non menang.” Teriaknya senang.
“Mana
nih yang namanya Kirana Flarinda?”
Bibi
menyenggolku. “Non, maju!”
Aku
tersadar. “Eh iya, Bi.” Aku kemudian melangkah ketengah lapangan.
Pembawa
acara itu terpanah melihatku, begitu juga penonton. “Hhhmm.. kamu bukannya
Karina? Artis yang terkenal itu?”
Aku
menarik nafas panjang. Kenapa Karina selalu membuat kekacauan sih?
“Aku
Kirana, bukan Karina!” seruku.
Pembawa
acara itu mengangguk. Mungkin tak mau aku mengamuk.
Disana para pemenang mendapat piala, piagam,
mendali, dan rangkaian bunga. Tetapi aku sudah tidak merasakan kemenangan itu. Bahkan
hatiku makin sakit karena Karina anak menyebalkan itu.
***
Ternyata
berkat usahaku itu, papa dan mama bisa luluh. Kami sekeluarga pergi bertamasya
ke puncak. Tetapi sepertinya semua itu tetap saja percuma dan sia-sia. Mereka tetap
memperdulikan Karina dibandingkan aku. Selama diperjalanan, mama, papa dan
Karina saling bercengkerama. Dan aku hanya terlihat sebagai patung yang bisa
bernafas saja. Walaupun sesekali Karina mengajakku berbicara, tetapi aku selalu
menjawabnya dengan jutek. Dan mama selalu marah padaku.
“Kirana,
kamu nggak boleh seperti itu sama saudara kembarmu. Diakan tetap saudaramu. Kamu
tak boleh memperlakukannya begitu.” Seru mama.
Dan
aku hanya diam sejuta kata.
Sesampainya
disana, aku makin sakit hati. Ternyata kami bukan bertamasya merayakan
keberhasilanku. Tetapi karena Karina ada pemotretan disana. Meskipun malamnya
kami ke villa untuk bermalam bersama.
Papa
dan mama begitu setia menemani Karina pemotretan. Aku yang hanya ditemani
sebatang dahan kayu kemudian pergi dari tempat itu. Menjauh dari mereka. Aku ingin
mencari tempat sepi untuk menuangkan semua isi hatiku. Aku berlari sejauh
mungkin dengan air mata yang curi-curi kesempatan keluar dari mataku.
Dan
akhirnya aku menemukan sebuah tempat yang indah. Diatas sebuah jurang yang tak
begitu dalam, aku bisa melihat pemandangan yang begitu indah dari sana. Tetapi yang
namanya jurang tetap saja jurang. Aku harus berhati-hati.
Aku
duduk dibawah pohon sambil menangis begitu keras. “Kapan mereka berubah? Kapan aku
bisa merasakan seperti yang dirasakan Karina? Kapan aku bisa merasakan itu
lagi? Aku benci kamu Karina!!” teriakku. “Aku benci ini semua. Aku tak ingin di
dunia ini lagi! Kalian bisa lebih bahagia bila tak ada aku,” ujarku lirih.
Aku
mendengar ada suara gerak kaki yang akan mendekat, aku mulai menjauh.
“Apa
aku punya salah sama kamu sampai kamu membenciku? Maafkan aku Kirana. Aku tak
bermaksud mengambil semuanya darimu.” Aku sudah tau pasti siapa dia, Karina.
Aku
berdiri lalu berbalik kearahnya kemudian mundur kebelakang.
“Kamu
mau ngapain Kir? Kamu jangan nekat seperti itu!” seru Karina yang mulai panik.
“Tanpa
ada aku didunia ini, kamu pasti akan lebih bahagia kan? Jadi, lebih baik aku
tak ada didunia ini. Aku sudah terlalu sakit hati padamu. Mama dan papa hanya
memperhatikanmu. Aku tak pernah mendapatkan itu semua sekarang. Aku yakin, kamu
belum puas kalau aku belum mati.”
“Kamu
bicara apa sih? Aku tak pernah berfikir seperti itu,”
“Mungkin
kamu tak pernah berfikir seperti itu. Tapi itu semua nyata, Kar!” seruku.
Karina
berusaha menjangkau ku, tetapi aku semakin menjauh kebelakang. Dan hingga aku
terpleset dan jatuh.
“Aaaaaaaaaaaaa...........................”
Tiba-tiba
sebuah tangan berhasil menggapai tanganku. Aku menoleh keatas. Jantungku mulai berdebar
begitu kencang dari sebelumnya.
“Kirana,
kamu pegang tanganku kuat-kuat,” sahutnya lalu berusaha menarikku keatas
jurang.
“Kamu
lebih baik lanjutin aktivitasmu daripada menolongku. Aku lebih bahagia mati!”
“Kamu
nggak boleh bilang seperti itu.”
“Aku
capek! Hatiku sudah terlalu sakit gara-gara kamu! Lepas tanganku!” seruku
sambil berusaha melepas tanganku dari genggamannya. “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaa.................”
“Kiranaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa...........................”
***
Aku
menggerakkan beberapa jariku perlahan.
“Kirana,
kamu sudah siuman?”
Aku
begitu kenal suara itu. Perlahan aku membuka kedua mataku. Benar saja, aku
masih ada didunia menyebalkan ini. Aku fikir, aku sudah di surga. Aku tak perlu
merasakan yang namanya sakit hati lagi.
“Kenapa
aku masih ada disini?” sahutku pelan.
“Kirana,
kamu nggak boleh bicara seperti itu. Aku mau minta maaf sebelumnya sama kamu. Aku
sudah merusak kebahagiaan saudaraku sendiri. Kir, kamu mengalami kepatahan pada
tangan dan kakimu. Kamu juga mengalami kebocoran di kepalamu, darahnya keluar
begitu banyak. Dan kamu harus mendapatkan donor darah. Kamu baru sadar sehari
setelah operasi kemarin,” Kata Karina.
Terdengar
suara orang membuka pintu. Terlihat mama dan papa datang lalu langsung
menyerbuku dan memelukku.
“Kamu
nggak apa-apa sayang? Alhamdulillah kamu sudah sembuh,” syukur papa.
Mama
menggenggam kedua tanganku kemudian menangis. “Maafin mama, Sayang. Mama tau
kenapa kamu bisa begini. Maaf jika mama selama ini selalu mengabaikan kamu. Mama
selalu membanggakan saudara kembarmu. Mama mengakui kalau mama salah. Maka dari
itu, mama mau minta maaf sama kamu. Mama janji, mama nggak akan ngelakuin itu
lagi. Mama akan adil sama kalian berdua. Asalkan kalian bahagia.” Ujar Mama
dengan suara purau.
“Papa
juga minta maaf sama kamu. Harusnya papa adil sama anak papa sendiri. Ternyata papa
selama ini belum bisa menjadi orang tua yang benar untuk kamu. Papa akan
berubah untuk kebaikan kita bersama. Tidak ada yang iri dan tidak ada yang
merasa dia sendiri. Kita harus kompak,” tambah papa.
Aku
mulai mengeluarkan air mata. “Aku kira keadaan ini nggak akan berubah. Aku akan
selalu tersingkir,” ujarku sedih. “Ternyata tidak. Aku maafin papa dan mama
kok. Aku nggak mau jadi anak yang semakin durhaka. Maafin aku juga yah, Pa, Ma.
Selama ini aku belum bisa jadi anak yang baik untuk papa dan mama,” ucapku
sambil tersenyum haru.
“Kamu
dan Karina sudah menjadi yang terbaik dihati papa dan mama,” jawab mama.
“Kirana,
aku minta maaf sama kamu. Aku tau kamu sangat membenciku. Tetapi apakah aku
bisa mendapatkan pintu maaf selebar-lebarnya dihatimu? Aku janji, aku akan
berhenti menjadi selebritis demi kamu dan kita,” kata Karina.
Aku
menggelengkan kepala. “Kamu nggak harus seperti itu, Karina. Kamu harus tetap
jaga kariermu. Aku sudah memaafkanmu. Asalkan kita kompak, aku sudah bahagia
sekali,”
“Terima
kasih, Kirana. Kamu memang saudara kembarku yang paling baik,” ujar Karina
kemudian memelukku.
Papa
dan Mama tak ketinggalan memelukku. Meskipun rasa ngilu sempat menjalar
ditubuhku. Tapi itu tak mematahkan kebahagiaanku sekarang. Sekarang aku sudah
mendapatkan keutuhan keluarga. Aku tak merasa sendiri lagi. Aku begitu
bersyukur atas keberkahan yang Tuhan beri padaku saat ini. Aku harap
kebahagiaan ini takkan berhenti sampai disini.
TAMAT
Bagus banget ceritanya
BalasHapus