Kamis, 28 Maret 2013

FLASHBACK


Siang ini sudah cukup tenagaku terkuras untuk membantu ibu membersihkan gudang belakang rumah. Sejak pagi tadi aku dan ibu sudah asik bermain-main dengan debu yang menempel di sekitar buku yang sudah tidak digunakan.
Aku merebahkan badan ke ranjang di kamarku. Tak lupa sebelumnya aku menyalakan kipas angin untuk mengurangi udara panas yang sejak tadi membuat pengap. Aku memejamkan mata berusaha merilekskan seluruh badanku.
“Buku itu...” gumamku lalu mengerjapkan mataku.
Aku seakan teringat dengan buku yang aku temukan di gudang tadi pagi. Buku harianku tiga tahun lalu. Buku yang berisi tentang cerita-ceritaku bersama dengannya. Ya, dia! Dia yang sempat mengisi hari-hariku selama beberapa bulan dahulu.
“Bawel...”
Ku dudukkan diriku di atas ranjang. Suara itu! Tiba-tiba saja suara itu terdengar kembali dipendengaranku. Tapi aku yakin itu hanya halusinasiku saja. Jelas-jelas sekarang aku sedang sendirian dikamar. Mungkin aku hanya merindukannya sampai berhalusinasi seperti ini.
Aku langkahkan kakiku menuju meja belajar. Disana terlihat buku yang sudah aku ambil dari gudang tadi. Dan tentunya sudah aku bersihkan dari debu-debu yang melekat di buku tersebut sebelumnya.
Ku tarik bangku dan duduk didepan meja belajar. Lalu ku buka halaman pertama, disana tertulis “BUKU HARIAN MINNIE”. Itulah namaku, Acantha Minniela. Seakan ingin cepat-cepat memutar memori indah dulu, aku langsung membuka lembaran demi lembaran yang ada. Sempat terkekeh sendiri membaca curhatanku dua tahun lalu.
Entahlah hari ini aku harus senang atau sebal. Karena hari ini aku mengalami keduanya. Awalnya, aku sebal dengan kakakku yang terus saja membuat moodku jelek. Dia terus mengomel tidak jelas. Aku bosan mendengar omelan tidak berujung itu. diam-diam aku keluar rumah dan tanpa sengaja aku bertemu dengan dia, Reza. Yang sebelumnya moodku jelek, berubah 180 derajat saat dia menyapaku, apalagi dia mengajakku main bersama. Aaaaahhhhh rasanya aku melayang hari ini bisa bermain dengannya!!!

***

Ku lirik ke kiri dan ke kanan seperti maling yang sedang mencuri kesempatan untuk masuk kerumah mangsa, bedanya kalau maling mengendap masuk kerumah seseorang sedangkan aku ingin keluar dari rumah. Setelah dipastikan kalau tidak ada orang yang melihat, aku keluar diam-diam sambil menjinjitkan kakiku saat melangkah. Kupakai sendal ungu milikku, lalu lari keluar rumah.
Setelah merasa jarak rumah dan arah kemana aku berlari jauh, ku hentikan lariku lalu kutaruh telapak tangan di dengkulku sambil berusaha mengatur nafas yang begitu memburu karena lari barusan.
“Uuuhhh... akhirnya bisa keluar dari kandang singa,” ujarku sambil mengelap pelipisku.
Yang sebelumnya tatapanku terarah pada satu arah, yaitu kakiku. Tiba-tiba tatapanku beralih pada kaki lain yang ada di depanku. Ku dongakkan kepalaku untuk melihat siapa pemilik kaki itu. Detak jantungku yang sebelumnya sudah stabil lalu mulai berdetak lebih cepat daripada setelah lari tadi. Tatapanku juga tak henti-hentinya menatap pemilik kaki itu, seakan tidak mau kehilangan objek indah yang baru saja aku dapat hingga aku terhipnotis dengan keindahan tersebut.
“Kamu ngapain lari-lari? Lagi main kejar-kejaran?” tanya seseorang dihadapanku.
Aku langsung tersadar kealam sadarku, lalu berdiri. Ku garuk tengkuk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal, itu caraku berusaha untuk mengurangi rasa gugupku. “Ah nggak kok. Abis keluar kandang singa makanya gini,” jawabku seadanya.
Dia langsung melongo mendengar jawaban polosku lalu tertawa sambil memegang perutnya. Ya tuhan, kenapa dia semakin indah dipandang saat tertawa? Tak apa jika aku yang jadi bahan tawaannya asal dia tertawa, hihi...
Kulihat dia berusaha mengatur diri untuk menjawab jawaban anehku itu. “Kamu ada-ada aja. Kamu mau temenin aku ke taman? kebetulan aku baru beli layang-layangan baru. Nanti kita sekalian beli minum buat kamu, keliatannya kamu capek abis lari,”
Senyuman langsung terlihat jelas diwajahku. “Ayo... mana layang-layangannya? Nanti kamu juga harus ajarin aku ya!”
“Layangannya ada dirumahku. Jadi, mampir dulu kerumahku. Pasti bawel,” ujarnya sambil tertawa dan mengusap rambutku.
Aku mengerucutkan bibirku. “Aku nggak bawel tau! Yaudah ayo sekarang, keburu singa datang lagi,” kataku sambil menarik tangannya berjalan menuju rumahnya yang tak jauh dari sini.
Setelah mengambil layang-layangan dirumahnya dan dia tak lupa menawari air minum padaku, lalu kami langsung berjalan riang menuju taman terdekat.
“Cepat ajari aku!” pintaku.
“Kita baru sampai, duduk dulu dong,”
Aku langsung menggeleng. “Nggak mau. Aku pengen belajar main layang-layangan sekarang! Nanti kalo aku udah bisa, kamu boleh deh duduk-duduk santai. Yayaya?” paksaku.
Dia menghela nafas sebentar. “Bener ya? Yaudah deh, nih pegang gulungan ini,” perintahnya.
Aku hanya menurut saja apa yang dia jelaskan sambil mengangguk jika mengerti dan bertanya jika tak mengerti. Aku berteriak dan tertawa keras saat layang-layangan itu sudah terbawa angin. Senangnya melihat layang-layang itu menari indahnya di langit.
“Makasih ya Za, udah ajarin aku,” kataku masih menatap layang-layang yang baru kuterbangkan bersamanya.
Dia mengangguk. “Iya sama-sama. Kayaknya seru, aku ikut nerbangin layang-layang deh,”
Kulirik sekilas kesamping. Dia tidak duduk-duduk seperti yang dia inginkan tadi malah ikut nerbangin layang-layang yang memang sudah disediakan dua, untuknya dan untukku. “Bukan kayaknya lagi, ini emang seru banget,” jawabku sambil terkekeh.
Aku dan dia terus asik menerbangkan layang-layang bahkan sempat benangnya saling melilit, untungnya tidak putus. Senyumku tak dapat terhapus dari wajahku. Hari ini aku benar-benar senang dia bisa mengajakku main. Biasanya juga tidak pernah. Meskipun kita satu sekolah dan berteman, tapi selama dia pindah kerumah yang tak begitu jauh dari rumahku, dia tak pernah sekalipun mengajakku main bersama. Aku merasa mendapatkan keajaiban jatuh dari langit. Sangat lucu!

***

Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Aku yang sekarang dengan yang dulu memanglah berbeda. Haha
Musik k-pop? Aku kurang suka. Ah tidak, aku suka hanya saja tidak mengerti artinya -_- tadi pagi dia mengenalkanku dengan musik k-pop, kita mendengarkan beberapa lagu dengan satu headset berdua. Sungguh sosweet! Aku mendengar lagu MBLAQ – Monalisa, Boyfriend – You & I, B2ST – I Like You The Best, dll. Sepertinya aku akan mulai menyukai k-pop setelah mendengar lagu-lagu dari korea itu. sebelumnya aku hanya menyukai dramanya saja, itu pun hanya beberapa. Haha
Aku mengangguk setelah membacanya. Memang benar, setelah mendengar lagu itu aku mulai menyukai k-pop. Bahkan sampai sekarang. Bias (idola) ku bahkan semakin banyak. Sepertinya aku harus berterima kasih padanya karena sudah mengenalkan musik k-pop padaku.
***

Aku memang sangat dekat dengannya. Yaa walaupun hanya disekolah, tapi itu sudah cukup untukku. Saat ini aku, Reza dan tiga teman yang lain masih berada digedung sekolah meskipun bel pulang sudah berbunyi sejak satu jam yang lalu. Hari ini kami sungguh malas dirumah, akhirnya kami sepakat untuk disekolah sampai sore.
Saat ketiga teman yang lain sedang ke kantin membeli minum, dikelas hanya ada aku dan dirinya. Gugup memang, tapi aku berusaha menghilangkan gugup itu. Kami sedang duduk berdua di satu meja. Lalu dia memasangkan sebuah headset ke telinga sebelah kiriku.
“Dengerin deh lagunya,” katanya.
Aku hanya menurut dan mendengar lagu yang sedang diputarnya. Ternyata lagu itu, aku langsung melepas headset itu lalu aku pasangkan ke telinga kirinya.
“Ah lagu korea, aku nggak ngerti,” jawabku lalu mulai membaca kembali novel yang ada ditanganku.
“Denger aja dulu, kalo kamu tau artinya juga suka. Paling nggak denger dulu deh, ya!” paksanya lalu kembali melepas headset yang ada di telinga kirinya kemudian memasangnya kembali ke telinga kiriku.
“Iyasih enak,” ujarku sambil mengangguk lalu mengalihkan tatapanku padanya.
“Ini baru beberapa lagu, aku masih ada banyak lagu k-pop. Pokoknya kamu harus denger. Nggak ada kata nggak,” jawabnya enteng.
“Ah terserah aja,” aku yang memang lagi nggak mau cari ribut cuma jawab sesingkat mungkin.

***

Lalu ku buka lagi lembaran-lembaran yang lain dan membacanya. Yang benar saja, memori dulu mulai menari-nari diotakku. Bahkan sampai saat dia menembakku satu bulan setelah kejadian itu. lagi-lagi aku tertawa geli mengingatnya.
Apa-apaan dia tidak ada romantis-romantisnya sedikitpun! Dia menembakku atau ingin menghinaku? Apa dia belum pernah menembak perempuan sebelumnya? Dia menembak dengan berkata seperti ini, “Bawel jelek, kamu mau nggak jadi pacarku?” awas kau nanti, akan ku suapi cabe hijau sekarung!!! Asdfghjkl

***

Hari ini terakhir ulangan semester genap dan hanya satu pelajaran yang di ulangan-kan. Aku dan teman-teman sangat senang akhirnya sebentar lagi penderitaan kita menghadapi soal-soal yang membuat bulu alis rontok akan berakhir. Apalagi hari ini hanya satu pelajaran dan tidak begitu sulit pelajarannya, aku jadi tidak terlalu extra belajar dari jam setengah tujuh sampai sepuluh malam seperti hari-hari sebelumnya.
Saat menghadapi ulangan pun aku hanya menggunakan waktu tiga puluh menit untuk mengerjakan soal, tiga puluh menit untuk memeriksa kembali, dan sisanya satu jam aku gunakan untuk tidur.
Setelah keluar kelas, aku dan beberapa temanku ke toilet berombongan. Saat keluar aku merasa ada yang aneh, karena Reza terus mengikuti kami meskipun tidak masuk toilet dan hanya menunggu diluar. Tapi aku berusaha berfikir positif saja, karena dia memang setiap hari pulang bersamaku.
Perasaan aneh itu semakin menjadi saat semua teman-temanku meninggalkan kami berdua. Aku hanya bertanya-tanya saja dalam hatiku. Kenapa jadi aneh begini? Bahkan saat aku ingin mengikuti teman-temanku, mereka malah menyuruhku bersama Leo sebentar. Apa maksud mereka?
“Pulang yuk!” ajakku.
“Nanti dulu dong, wel,” jawabnya.
“Manggil aku bawel lagi, dijamin sebentar lagi sepatuku udah melayang kekepala kamu!”
Dia hanya terkekeh geli. “Canda doang elah. Galak banget,”
“Biar,” jawabku seadanya lagi.
“Yee gitu doang ngambek,”
“Siapa yang ngambek!”
“Itu ngambek,”
“Nggak. Kita ngapain sih disini? Pulang aja yuk,” ajakku lagi yang mulai gugup.
“Sebentar,” ujarnya menghalangiku yang sudah siap-siap untuk melangkah ke teman-temanku yang lagi di dalam kelas 10-4.
“Kenapa?”
Dia tarik nafas panjang-panjang lalu menghembuskannya pelan-pelan. “Bawel jelek...”
Ini orang kenapa sih? Masih manggil bawel lagi, bahkan sekarang ditambah jeleknya.
“Apaan?” tanyaku ketus.
“Bawel jelek, kamu mau nggak jadi pacarku?”
Mau nggak mau bola mataku membulat sempurna. Dia barusan ngomong apa? Apa telingaku sedang bermasalah? Meskipun begitu, rona merah dikedua pipiku tidak bisa disembunyikan.
“Hah? Maksudnya?” tanyaku yang mulai seperti orang bodoh.
“Kamu tau kan aku putus sama Yanti, itu karena aku mulai suka sama kamu,”
Kukerjapkan mataku berkali-kali. Apa aku tidak salah dengar?
“Jadi?”
Dia melengos pelan. “Kok jadinya kamu yang nanya jadi? Seharusnya aku, kamu mau nggak jadi pacarku, bawel?”
“Ini beneran?”
Aku terus berusaha mengulur-ulur waktu. Aku ingin terus mengisi memori dan moment-moment di otakku saat dia menembakku seperti ini. Aku berusah menghapus senyum yang sebenarnya sudah tidak bisa ditahan lagi untukku lukiskan diwajahku.
“Masa bohong sih, ya nggaklah,” jawabnya yang mulai geregetan.
Teman-temanku yang berada didalam kelas itu ternyata menguping pembicaraanku dengan Reza sejak tadi. Wajahku sudah benar-benar seperti kepiting rebus saat ini, sungguh memalukan. Memalukan memang, tapi aku senang.
Aku hanya memjawab dengan anggukan.
“Yang bener dong,” ujarnya sambil tersenyum senang.
“Iya aku mau,” ucapku sambil tertunduk.
Tiba-tiba, teman-temanku yang sudah mengintip dibalik jendela langsung berlari keluar kelas lalu teriak tidak jelas seperti cacing kepanasan.
“Wah PJ-nya dong!!”
“Cie yang baru jadi!!”
“Traktir dong!”
“Selamat ya! Semoga langgeng!”
Itulah beberapa ucapan dari teman-temanku sambil tertawa bahagia. Rasanya aku ingin memeluk semua teman-temanku, berusaha menyembunyikan rona merah yang sudah sangat memerah ini.

***

Aku masih ingat betul, hari-hariku saat itu begitu berwarna seperti pelangi. Dulu kalau aku begadang hanya untuk membaca novel saat malam minggu, ada yang menemaniku sms-an. Senyumpun tak pernah hilang dari wajahku seakan-akan aku makhluk yang paling bahagia di dunia saat itu.
Semakin lama aku membaca curhatanku sendiri itu, akhirnya aku sampai pada hal yang tak bisa terhapus dari ingatanku.
Apa laki-laki sekarang tidak ada yang setia? Apa aku masih kurang? Rakus sekali dia semua perempuan diucapkan cinta olehnya. Apa maksud dia? Sudah berapa air mata yang aku keluarkan hari ini untuk orang seperti dia? Malang sekali nasibku. Hari ini juga aku ingin mengakhiri semuanya. Aku tidak ingin sekolahku terganggu hanya untuk hal yang tidak bermutu seperti ini!!
Ku alihkan tatapan mataku ke depan. Kejadian itu masih terlihat jelas dalam ingatanku.
Tessss.....
“Air mata ini lagi?” gumamku lirih sambil tersenyum miris.

***

Sore ini aku dengannya pergi ke taman saat bermain layang-layang dulu. Aku tersenyum simpul saat melewati tempat itu lalu menggaruk tengkukku. Saat itu aku belum memilikinya, saat kembali kesini lagi aku sudah menjadi miliknya. Sungguh masih tak dapat aku percayai kenyataan ini.
“Kamu kenapa?” tanyanya.
Langsung ku alihkan wajahku padanya lalu tersenyum kikuk. “Ah nggak apa-apa,”
“Kamu duduk dulu aja ya disini. Aku beli minum dulu. Aku titip jaketku ya,” ucapnya sambil menyerahkan jaket padaku lalu pergi ke warung terdekat.
Lagi-lagi aku hanya menuruti katanya untuk duduk di bangku taman yang sudah disediakan. Tanganku memang ditakdirkan jahil, aku langsung membongkar semua isi kantong dijaketnya. Ternyata hanya ada handphone-nya saja. Tapi tak apalah.
Aku semakin jahil saja membuka galeri foto yang ada di handphone-nya. Senyumku mengembang saat melihat beberapa fotoku ada di handphone-nya yang jelas-jelas hanya ada dihandphone ku. Bagaimana dia bisa mengambilnya? Ah aku baru ingat, dulu dia sempat meminjam handphoneku lama sekali sampai aku ngomel-ngomel tak jelas padanya. Apa dia mem-bluetooth beberapa fotoku? Sosweet sekali dia!
Entahlah bagaimana ceritanya aku tiba-tiba sudah membuka item terkirim di olahpesan yang ada di handphone-nya. Aku seakan tertarik untuk membaca pesan yang dia kirim ke beberapa temannya.
Mataku membulat sempurna saat membaca kata “Iloveyou” yang dia kirim ke temannya yang bernama Jessie itu. Aku berusaha berfikir positif, mungkin mereka sedang bercanda. Seakan mendapat bisikan setan, aku membaca semua sms yang Reza dan Jessie lakukan. Ternyata pikiran positifku berakhir dengan negatif. Mereka tidak sedang bercanda, tapi memang sedang bermain dibelakangku.
“Hai, kamu ngapain buka-buka handphoneku?” sahut seseorang lalu mengambil handphone yang ada digenggamanku, sudah ku pastikan pasti itu pacarku. “Ka...mu... kena...pa na...ngis?” tanyanya sedikit tergagap, mungkin karena takut rahasianya aku ketahui.
Kuusap air mata yang sudah banjir dipipiku dengan telapak tanganku. “Aku udah tau kok kamu sama Jessie. Lebih baik kita putus,” gumamku lirih lalu pergi meninggalkannya yang hanya terpaku mendengar kata putus sepihak dariku.
Sejak saat itu aku dengannya sudah mulai menjaga jarak. Bahkan setelah aku putus, aku semakin mengetahui sebuah kebenaran. Selain Jessie, masih ada dua perempuan lain yang dia gombali. Hatiku tentu sangat sakit. Aku mulai menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas untuk melupakannya.

***

Aku menggeleng-gelengkan kepala setelah mengingat akhir yang tidak happy ending tetapi sad ending. Semua manusia memang tidak selama bahagia dan aku percaya itu. Yasudahlah, yang lalu sudah berlalu masa kini kita harus mengejar masa depan yang lebih baik. Itulah kata-kata yang aku gunakan sebagai penyemangatku. Aku juga beranggapan lelaki seperti dia tak patut dipikirkan lagi.
Setelah asyik flasback ria, aku langsung menutup buku diary itu lalu menaruhnya di atas meja kemudian berjalan keluar kamar.

Jumat, 22 Februari 2013

pabo!!


Seorang perempuan terlihat sedang bersembunyi dibalik sebuah pohon besar. Dia sedang asyik memandangi dari jauh laki-laki tersayangnya sedang bercengkrama dengan seorang perempuan lain. Bisa dibilang dia cemburu, bahkan sangat cemburu.
Perempuan itu bernama Seohyun, lelaki tersayangnya itu bernama Kyuhyun, sedangkan perempuan yang sedang bercengkrama dengan laki-laki tersayangnya Seohyun adalah Jiyeon.
Seohyun tidak mau melewatkan topik obrolan antara Kyuhyun dengan Jiyeon. Seohyun harus menajamkan pendengarannya untuk mendengar topik yang Kyuhyun dan Jiyeon bicarakan.
“oppa cium juga nih..” ujar Kyuhyun sambil terkekeh.
Tiba-tiba saja itu membuat hati Seohyun sakit, meskipun dia tau jelas kalau Kyuhyun hanya bercanda. Tapi tetap saja itu membuatnya cemburu dan sakit hati.
“Jangan cium-cium. Nanti ada yang marah lagi,” jawab Jiyeon sambil tertawa.
Tatapan mata Kyuhyun tiba-tiba berubah serius dan alisnya mengkerut. “Marah? Siapa?”
“Loh? Emang nggak ada ya?” tanya Jiyeon balik.
“Kalo oppa bilang nggak ada, itu ada atau nggak?” jawab Kyuhyun yang semakin membelitkan pertanyaan aneh itu.
“Berarti nggak ada dong..” seru Jiyeon dengan sumringah.
“Nah itu tau..” balas Kyuhyun dengan tertawa.
Perempuan yang bersembunyi dibelakang pohon itu sudah tak kuat lagi mendengar obrolan kedua orang itu. Seohyun sudah tak dapat menahan emosinya. Dia lalu berlari sekencang-kencangnya sambil mengelap wajahnya dengan punggung tangannya karena tiba-tiba saja beberapa tetes air mata berhasil keluar dari kelopak matanya yang indah.

***

Seohyun sudah sampai dirumahnya, tepatnya dikamarnya. Dia mengunci pintu kamar lalu menangis sekencang-kencangnya sambil menutup wajahnya dengan bantal. Itu dia lakukan agar suaranya tidak terlalu terdengar keluar. Bisa sangat fatal jika seisi rumah mendengar tangisannya.
Seohyun masih tak mengerti mengapa Kyuhyun bisa bicara seperti itu. Semua ini sudah berhasil membuat Seohyun tak dapat berfikir jernih.
Apa dia sudah tak mencintaiku? Apa dengan cara ini dia mau melepasku?
Pertanyaan yang selalu terlontar dipikiran Seohyun hanya itu. Belum lagi, sebelum-sebelumnya Seohyun sering melihat Kyuhyun ngemodusin banyak perempuan. Tapi dia masih dapat berfikir jernih. Dan entah mengapa, sekarang Seohyun benar-benar tak dapat berfikir jernih.
Apa aku harus mengakhiri semuanya duluan? Apa aku harus menyerah?
Secara tak sengaja Seohyun berfikir seperti itu. Kalau benar-benar itu terjadi, Seohyun tetap saja akan tau akhirnya. Akhirnya dia tidak dapat melupakan Kyuhyun dan memendam rasa cintanya yang begitu dalam.
Entahlah, kali ini Seohyun benar-benar dibuat bingung.

***

“Aku nyerah,” ujar seorang perempuan dengan lirih.
Sekarang Seohyun sedang berada di sebuah taman, tepatnya sedang duduk di salah satu bangku taman. Dia tidak sendiri,  dia bersama dengan Kyuhyun lelaki yang sangat dia sayangi. Bukan, tapi yang sangat dia cintai.
Kyuhyun yang duduk tepat disamping Seohyun langsung kaget dan menoleh ke Seohyun.
“Nyerah? Maksud kamu apa?” tanya Kyuhyun penuh selidik. Kyuhyun sudah mengerti maksud arah pembicaraan mereka kali ini.
Seohyun menghela nafas panjang. “Pokoknya aku nyerah,”
Dengan cepat, Kyuhyun memegang kedua tangan Seohyun dengan erat. Seohyun hanya bisa menunduk, tak dapat membalas tatapan Kyuhyun yang hanya terarah padanya. “Aku tau aku orang jahat. Aku tau aku orang yang bikin kamu sedih. Aku orang yang selalu nyakitin kamu. Aku buat hari-hari kamu jadi jelek. Aku orang yang selalu modus ke semua perempuan. Tapi  satu yang mesti kamu tau. CINTA AKU CUMA BUAT KAMU..” ujar Kyuhyun dengan penekanan dikalimat terakhir.
Cukup, itu sudah cukup membuat air mata Seohyun akan jatuh sebentar lagi.  Seohyun berusaha melepas tangannya dari Kyuhyun. Tapi apa daya kekuatannya tak seberapa jika dibandingkan dengan Kyuhyun.
“Lepasin tangan aku!” seru Seohyun.
Kyuhyun pun melepaskan tangan Seohyun. Kemudian Seohyun berlari dengan sisa-sisa kekuatannya. Kali ini air mata benar-benar tak bisa dikompromi lagi. Air mata turun dengan derasnya.

***

Yang benar saja, setelah Seohyun mengucap kata ‘nyerah’ kepada Kyuhyun, rasa cintanya semakin mendalam bukannya terlupakan. Seohyun tau, dia salah. Tak seharusnya dia bilang seperti itu. Seharusnya dia percaya sepenuhnya kepada Kyuhyun. Kali ini Seohyun benar-benar bimbang. Dia seperti kehilangan semangat hidup. Seohyun sudah seperti kehabisan oksigen yang selama ini selalu dihirupnya. Emosinya yang tak dapat ditahannya dulu, sudah cukup membuatnya menderita sekarang. Mungkin sekarang Seohyun hanya bisa menatap nanar Kyuhyun dari jauh.

TAMAT

Minggu, 20 Mei 2012

CEMBURU ITU MENYAKITKAN


Aku menatap sepucuk surat yang sejak tadi siang diberikan padaku oleh wali kelasku. Perasaanku penuh dengan rasa senang dan bangga, aku harap orang tuaku juga seperti itu saat membaca isi dalam surat ini. Aku baru saja menjadi juara lomba melukis se-kotamadya dan aku akan maju tingkat se-Jakarta. Aku berharap dengan cara ini, aku sudah mendapatkan sedikit perhatian dari mereka.
Jujur saja, aku merasa tersingkirkan oleh saudara kembarku. Mama dan papa lebih memperhatikan Karina dibandingkan aku. Aku selalu berpikir dengan perbedaan perhatian yang mama dan papa kasih pada kami berdua karena Karina itu lebih cantik, berhati begitu lembut, lebih cerdas, dan dia seorang selebritis yang sedang naik daun. Dan aku berbeda jauh darinya. Meskipun wajah kami mirip, tetap saja kecantikanku tak seberapa dengan kecantikan Karina. Aku ini begitu tomboy, berbeda jauh dengan saudara kembarku yang begitu lembut dan manja. Aku juga tidak secerdas dia, aku hanya memiliki seperempat kecerdasan yang dia punya. Tetapi kalau sudah soal gambar dan melukis, aku jagonya. Buktinya, aku ditunjuk sekolah untuk memenangi beberapa kejuaraan.
Dan karena prestasi dan keseharian kami berbeda, aku bersekolah di SMA Cindera yang tak begitu keren dari sekolah Karina. Dia bersekolah di SMA Sentra Internasional School.
“Aku yakin, pasti kali ini papa dan mama mau datang ke lombaku satu minggu yang akan datang nanti,” kataku sendiri sambil tersenyum senang.
Aku berdiri dari ranjangku, lalu membuka pintu kamar dan berjalan keruang tengah. Disana sudah terlihat papa dan mama yang sedang istirahat sambil menonton televisi. Gerak jalanku semakin semangat saja, kali ini mereka berdua saja tanpa ada Karina yang selalu membuatku sakit hati.
Aku mengambil duduk tepat ditengah mereka berdua.
“Eh, anak papa belum tidur?” sahut papa.
Aku menggelengkan kepala. “Belum, Pah. Oh iya, aku mau kasih surat ini ke kalian,” ujarku lalu memberikan surat itu pada papa. “Aku kemarin menang lagi lomba melukis. Dan aku akan maju ke tingkat yang lebih tinggi. Aku ingin kalian datang ke lombaku nanti. Itu saat-saat terindahku,”
Mama menarik nafas pelan lalu mengelus lembut rambut panjangku yang begitu lebat. “Mama senang sekali kamu bisa menang, Kirana. Kapan acaranya?” ujar mama senang.
Aku tersenyum lebar. “Satu minggu lagi, ma,” jawabku semangat.
“Satu minggu lagi? Berarti itu hari Kamis?” lanjut papa dengan alis yang mulai mengkerut.
“Memangnya kenapa, pa?”
Mama memegang tangan kiriku dengan kedua tangannya. “Kir, kita pasti akan usahakan datang ke lomba itu dan memberi support untuk kamu. Yasudah, kamu tidur gih sana. Ini sudah malam, besok pagi kamu kan harus sekolah,” suruh mama.
Aku mengangguk pelan. “Aku tidur dulu yah pa, ma.” Sahutku, lalu bangkit dan berjalan menuju ke dalam kamar.

***

Esoknya, siang ini rumah begitu sepi. Aku menaruh tasku diatas sofa, lalu ke dapur. Disana terlihat bibi sedang asyik mengiris bawang merah untuk makan siangku. Begitulah kegiatan yang terjadi dirumah saat aku sudah pulang sekolah. Hanya terdengar suara gemericik air dibelakang.
“Bi, mama nemenin Karina lagi?” pertanyaan yang selalu aku lontarkan saat rumah sepi.
Bibi berhenti melakukan aktivitasnya sejenak. “Iya, Non. Non Karina kan hari ini ada syuting iklan terbaru, Non.”
Kenapa sih harus dia terus yang menjadi perhatian? Setiap aku ada lomba aja, mama nggak pernah tuh nemenin aku. Aku ngambil hasil raport aja harus sama bibi. Mama selalu membuat alasan. Dan alasannya itu pasti Karina, nggak ada yang lain. Aku benci Karina! Sampai kapanpun aku tak bisa memaafkan dia!
Aku langsung lari masuk kedalam kamarku, lalu kukunci pintunya. Aku duduk dibelakang pintu sambil menangis dengan sekeras-kerasnya.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!” teriakku. “Kenapa selalu dia? Kapan aku? Aku nggak pernah mendapatkan itu semua. Yang aku ingin sekarang hanya perhatian kalian aja! Aku nggak butuh yang lain!” ujarku lirih sambil terisak-isak.

***

Sarapan pagi ini sama seperti biasanya. Papa, mama, dan Karina asyik berbicang soal kegiatannya dari pagi sampai malam. Dan aku hanya sebagai pajangan belaka. Aku sendiri diam tak berkata. Karina, Karina, dan selalu Karina yang dinomor satukan. Dia selalu diberi vitamin. Sedangkan, aku seperti di tiadakan diantara mereka. Aku hanya dianggap bingkai foto yang tersenyum melihat kebahagiaan mereka.
“Karin, kegiatan kamu hari ini apa saja, nak? Ingat, kesehatan nomor satu,” sahut papa.
“Hari ini aku cuma pemotretan saja kok, Pah. Aku ingat terus kok. Tenang saja, Pah.” Jawabnya sambil memegang sesendok nasi goreng yang akan dimasukkannya kedalam mulutnya.
Aku berdiri hingga kursi yang ku duduki mundur kebelakang, sedikit membuat kebisingan. “Aku berangkat,”
Tanganku tiba-tiba saja dipegang Karina saat aku ingin berbalik, aku langsung berusaha menepisnya.
“Apa?” sahutku singkat tanpa melihatnya.
“Kamu kenapa nggak bareng aku sama mama? Kita kan sudah jarang berangkat bareng lagi sejak kita beda sekolah. Apalagi, sekarang kita sudah jarang sekali berbicara,”
“Nggak usah. Aku bisa kok naik bus,” jawabku kemudian berlalu meninggalkan keluarga yang begitu bahagia jika benar-benar aku tidak ada disana.
Karina berdiri lalu menatap kepergianku. “Kirana, kamu kenapa sih?” tanya Karina sedikit berteriak. Aku tak memperdulikannya dan tetap berjalan keluar rumah.

***

Hari itu tiba, lagi-lagi aku dibuat sedih oleh kedua orang tuaku. Lagi-lagi mereka membuat alasan yang sudah membuat kupingku sakit. Mama, selalu bilang “Hari ini Karin ada syutting, sayang. Mama harus selalu disampingnya. Dia kan masih junior di dunia entertain, jadi dia harus mendapat bimbingan. Mama pasti akan mendoakan yang terbaik untukmu.”. Dan papa, juga selalu bilang “Maaf Sayang, papa nggak bisa datang. Hari ini papa ada meeting, lalu harus menjemput mama dan Karina di lokasi. Lain waktu papa pasti akan usahakana datang ke acara kamu. Semoga kamu menang ya, sayang.”
Semua ini semakin membuatku membenci saudara kembarku itu. Semua perhatian tertuju padanya. Tapi aku masih sedikit bersyukur, karena ada Bi Inah yang  selalu menemaniku dan selalu mendengarkan keluh kesahku. Bi Inah begitu mengerti keadaanku. Tapi tetap saja, aku ingin juga mendapat perhatian dari kedua orang tuaku. Tentu saja itu keinginan semua anak sedunia.
“Non, Bibi datang kesini untuk mensupport non Kirana,”
Aku ternganga mendengar suara itu. Dan aku tau benar siapa dia. Aku menoleh kedepan. Aku tak bisa menyembunyikan kesedihan dan keharuanku sekarang. Aku langsung berlari kearah Bi Inah kemudian memeluknya sambil menangis.
“Bi, kenapa sih nggak ada yang peduli sama aku? Kenapa harus selalu Karina yang nomor satu? Aku capek, Bi. Aku pengin dapat perhatian dari mama papa,” curhatku sambil tersedu-sedu.
Bibi mengelus lembut rambutku. “Non nggak boleh ngomong kayak gitu. Kan sekarang sudah ada Bibi. Non jangan sedih lagi yah,”
Aku melepas pelukan kemudian membersihkan kedua pipiku yang sudah banjir akan air mata dengan punggung telapak tanganku.
“Bi, doain aku yah semoga bisa menang di lomba ini. Agar aku bisa membanggakan sekolahku dan...” aku terdiam sebentar. “Dan terutama bisa membanggakan mama dan papa, Bi.”
Bibi menggenggam kedua tanganku dengan senyum terindahnya. “Bibi pasti selalu doain yang terbaik untuk Non. Semoga orang tua Non bisa menjadi seperti yang Non mau. Ya sudah, sekarang Non jangan sedih lagi. Non harus membanggakan semuanya sekarang. Melukis yang indah ya, Non.” Seru Bibi memberiku semangat.
Aku tersenyum. “Terima kasih yah, Bi.”

***

Di lomba itu, aku melukis seekor burung sedang menatap langit begitu indahnya di sebuah dahan pohon. Dilukisan itu aku tambahkan setetes air mata di pinggir kelopak matanya. Aku sengaja menggambar itu. Itu menggambarkan suasana hatiku sejak dulu hingga kini. Seekor burung yang terasa seperti tinggal seorang diri tanpa ditemani siapapun. Kelompoknya tidak ada yang ingin bersamanya, semua menjauh. Dengan perasaan yang begitu sakit, burung itu menuangkan rasa dihatinya dengan tangisan.
Aku tersenyum haru menatap hasil gambarku. Aku berharap sekali, hasil kreasiku ini bisa membanggakan semua orang. Terutama orang tuaku. Aku merindukan sentuhan mereka, aku merindukan pelukan mereka, aku merindukan semua yang mereka berikan padaku dulu kecil. Tak apa kalau aku harus berpanas-panasan ditengah lapangan seperti ini, yang penting aku mendapatkan inspirasi. Dan tak lupa berdoa agar bisa membanggakan semuanya.
Hanya berselang beberapa menit, lomba itu selesai. Tinggal menunggu hasilnya tiga puluh menit kedepan. Aku menghampiri Bibi yang sedang komat-kamit nggak jelas dipinggir lapangan.
Dahiku mengernyit kemudian mengagetkannya dengan menepuk punggungnya. “Hayo, Bibi lagi ngapain? Kok bibirnya komat-kamit gitu? Lagi baca mantra, Bi?” sahutku dilanjut dengan tawa.
“Eh, Non. Ngagetin aja bisanya,” Bibi menepuk tanganku. “Bibi ini lagi doain kamu biar menang. Kali saja mantra Bibi berhasil,” ucap Bibi cekikikan.
“Ah Bibi ada-ada saja. Yaa... semoga saja aku menang, Bi.”
“Harus optimis ya, Non. Bibi saja optimis kalau Non yang akan menang,” Bibi memberi semangat.
Aku tersenyum menatap Bibi. Terima kasih, Bi. Batinku.

***

“Sore ini saya akan mengumumkan siapa pemenang di acara lomba melukis FL2SN se-Jakarta. Baik, saya tidak akan berpanjang lebar. Saya akan mengumumkan siapa juara-juara yang akan melanjutkan lomba melukis Nasional. Pasti kalian sudah tak sabar kan?” cerocos pembawa acara itu.
Aku terus-terusan berdoa agar aku diberikan jalan untuk dapat membawa piala kerumah. Bibi pun juga tak lepas dari komat-kamitnya. Tapi itu tak menjadi masalah bagiku. Karena Bibi berdoa untuk kebaikan diriku.
Semua penonton  maupun peserta, wajahnya berubah menjadi tegang.
Pembawa acara itu menatap ke sekelilingnya. “Wah sepertinya semuanya tegang yah! Baiklah akan saya umumkan sekarang juga.” Lelaki itu berdehem. “Juara ketiga adalaahh......” dia berusaha membuat panik semua orang. “Ryan Wardana..”
Orang yang memiliki nama yang baru saja disebutkan langsung melangkah maju ketengah lapangan dengan wajah yang berseri-seri. Semua penonton memberikan tepuk tangan dengan begitu semangat.
“Juara keduanya ialah...” lagi-lagi dia membuat aku dan semua penonton harap-harap cemas. “Gerda Simohang..”
Orang yang namanya baru saja dipanggil itu langsung berlari ketengah lapangan sambil menutup wajahnya yang memerah senang. Penonton membuat kegaduhan dengan tepuk tangan mereka.
Aku makin menekuk wajahku. Aku tak begitu yakin lagi aku akan memenangi ini. Karena aku hanya menggambarkan seekor burung yang tak akan dimengerti oleh orang lain. Aku mulai pasrah jika aku tak dapat memenangi lomba ini.
“Dan.. juara pertamanya adalah...” dia menatap semua penonton dan peserta. Semua peserta keringat dingin menanti siapa sang juara. “Zaina,” ucapannya terhenti saat seorang juri menghampirinya dan membisikkan sesuatu yang tak diketahui semua orang.
Ternyata benar aku gagal hari ini. Aku tidak bisa membanggakan semua orang dan orang tuaku. Aku langsung tertunduk.
“Bi, aku nggak menang. Lebih baik kita pulang,” pintaku.
“Non harus optimis dulu! Allah selalu memberikan keajaiban kepada umatnya. Kalau pengumuman selesai, baru kita pulang,” seru Bibi.
“Wah sepertinya ada kesalahan teknis semua. Saya sebelumnya meminta maaf kepada seluruh peserta dan penonton. Baik, saya teruskan kembali. Juara pertamanya yaitu, Kirana Flarinda,” teriak pembawa acara itu saat memberitakan juara pertama.
Aku mengangkat wajahku kemudian ternganga. Aku terdiam. Bibi melompat kegirangan lalu memelukku.
“Alhamdulillah, Non menang.” Teriaknya senang.
“Mana nih yang namanya Kirana Flarinda?”
Bibi menyenggolku. “Non, maju!”
Aku tersadar. “Eh iya, Bi.” Aku kemudian melangkah ketengah lapangan.
Pembawa acara itu terpanah melihatku, begitu juga penonton. “Hhhmm.. kamu bukannya Karina? Artis yang terkenal itu?”
Aku menarik nafas panjang. Kenapa Karina selalu membuat kekacauan sih?
“Aku Kirana, bukan Karina!” seruku.
Pembawa acara itu mengangguk. Mungkin tak mau aku mengamuk.
 Disana para pemenang mendapat piala, piagam, mendali, dan rangkaian bunga. Tetapi aku sudah tidak merasakan kemenangan itu. Bahkan hatiku makin sakit karena Karina anak menyebalkan itu.

***

Ternyata berkat usahaku itu, papa dan mama bisa luluh. Kami sekeluarga pergi bertamasya ke puncak. Tetapi sepertinya semua itu tetap saja percuma dan sia-sia. Mereka tetap memperdulikan Karina dibandingkan aku. Selama diperjalanan, mama, papa dan Karina saling bercengkerama. Dan aku hanya terlihat sebagai patung yang bisa bernafas saja. Walaupun sesekali Karina mengajakku berbicara, tetapi aku selalu menjawabnya dengan jutek. Dan mama selalu marah padaku.
“Kirana, kamu nggak boleh seperti itu sama saudara kembarmu. Diakan tetap saudaramu. Kamu tak boleh memperlakukannya begitu.” Seru mama.
Dan aku hanya diam sejuta kata.
Sesampainya disana, aku makin sakit hati. Ternyata kami bukan bertamasya merayakan keberhasilanku. Tetapi karena Karina ada pemotretan disana. Meskipun malamnya kami ke villa untuk bermalam bersama.
Papa dan mama begitu setia menemani Karina pemotretan. Aku yang hanya ditemani sebatang dahan kayu kemudian pergi dari tempat itu. Menjauh dari mereka. Aku ingin mencari tempat sepi untuk menuangkan semua isi hatiku. Aku berlari sejauh mungkin dengan air mata yang curi-curi kesempatan keluar dari mataku.
Dan akhirnya aku menemukan sebuah tempat yang indah. Diatas sebuah jurang yang tak begitu dalam, aku bisa melihat pemandangan yang begitu indah dari sana. Tetapi yang namanya jurang tetap saja jurang. Aku harus berhati-hati.
Aku duduk dibawah pohon sambil menangis begitu keras. “Kapan mereka berubah? Kapan aku bisa merasakan seperti yang dirasakan Karina? Kapan aku bisa merasakan itu lagi? Aku benci kamu Karina!!” teriakku. “Aku benci ini semua. Aku tak ingin di dunia ini lagi! Kalian bisa lebih bahagia bila tak ada aku,” ujarku lirih.
Aku mendengar ada suara gerak kaki yang akan mendekat, aku mulai menjauh.
“Apa aku punya salah sama kamu sampai kamu membenciku? Maafkan aku Kirana. Aku tak bermaksud mengambil semuanya darimu.” Aku sudah tau pasti siapa dia, Karina.
Aku berdiri lalu berbalik kearahnya kemudian mundur kebelakang.
“Kamu mau ngapain Kir? Kamu jangan nekat seperti itu!” seru Karina yang mulai panik.
“Tanpa ada aku didunia ini, kamu pasti akan lebih bahagia kan? Jadi, lebih baik aku tak ada didunia ini. Aku sudah terlalu sakit hati padamu. Mama dan papa hanya memperhatikanmu. Aku tak pernah mendapatkan itu semua sekarang. Aku yakin, kamu belum puas kalau aku belum mati.”
“Kamu bicara apa sih? Aku tak pernah berfikir seperti itu,”
“Mungkin kamu tak pernah berfikir seperti itu. Tapi itu semua nyata, Kar!” seruku.
Karina berusaha menjangkau ku, tetapi aku semakin menjauh kebelakang. Dan hingga aku terpleset dan jatuh.
Aaaaaaaaaaaaa...........................
Tiba-tiba sebuah tangan berhasil menggapai tanganku. Aku menoleh keatas. Jantungku mulai berdebar begitu kencang dari sebelumnya.
“Kirana, kamu pegang tanganku kuat-kuat,” sahutnya lalu berusaha menarikku keatas jurang.
“Kamu lebih baik lanjutin aktivitasmu daripada menolongku. Aku lebih bahagia mati!”
“Kamu nggak boleh bilang seperti itu.”
“Aku capek! Hatiku sudah terlalu sakit gara-gara kamu! Lepas tanganku!” seruku sambil berusaha melepas tanganku dari genggamannya. “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaa.................
“Kiranaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa...........................”

***

Aku menggerakkan beberapa jariku perlahan.
“Kirana, kamu sudah siuman?”
Aku begitu kenal suara itu. Perlahan aku membuka kedua mataku. Benar saja, aku masih ada didunia menyebalkan ini. Aku fikir, aku sudah di surga. Aku tak perlu merasakan yang namanya sakit hati lagi.
“Kenapa aku masih ada disini?” sahutku pelan.
“Kirana, kamu nggak boleh bicara seperti itu. Aku mau minta maaf sebelumnya sama kamu. Aku sudah merusak kebahagiaan saudaraku sendiri. Kir, kamu mengalami kepatahan pada tangan dan kakimu. Kamu juga mengalami kebocoran di kepalamu, darahnya keluar begitu banyak. Dan kamu harus mendapatkan donor darah. Kamu baru sadar sehari setelah operasi kemarin,” Kata Karina.
Terdengar suara orang membuka pintu. Terlihat mama dan papa datang lalu langsung menyerbuku dan memelukku.
“Kamu nggak apa-apa sayang? Alhamdulillah kamu sudah sembuh,” syukur papa.
Mama menggenggam kedua tanganku kemudian menangis. “Maafin mama, Sayang. Mama tau kenapa kamu bisa begini. Maaf jika mama selama ini selalu mengabaikan kamu. Mama selalu membanggakan saudara kembarmu. Mama mengakui kalau mama salah. Maka dari itu, mama mau minta maaf sama kamu. Mama janji, mama nggak akan ngelakuin itu lagi. Mama akan adil sama kalian berdua. Asalkan kalian bahagia.” Ujar Mama dengan suara purau.
“Papa juga minta maaf sama kamu. Harusnya papa adil sama anak papa sendiri. Ternyata papa selama ini belum bisa menjadi orang tua yang benar untuk kamu. Papa akan berubah untuk kebaikan kita bersama. Tidak ada yang iri dan tidak ada yang merasa dia sendiri. Kita harus kompak,” tambah papa.
Aku mulai mengeluarkan air mata. “Aku kira keadaan ini nggak akan berubah. Aku akan selalu tersingkir,” ujarku sedih. “Ternyata tidak. Aku maafin papa dan mama kok. Aku nggak mau jadi anak yang semakin durhaka. Maafin aku juga yah, Pa, Ma. Selama ini aku belum bisa jadi anak yang baik untuk papa dan mama,” ucapku sambil tersenyum haru.
“Kamu dan Karina sudah menjadi yang terbaik dihati papa dan mama,” jawab mama.
“Kirana, aku minta maaf sama kamu. Aku tau kamu sangat membenciku. Tetapi apakah aku bisa mendapatkan pintu maaf selebar-lebarnya dihatimu? Aku janji, aku akan berhenti menjadi selebritis demi kamu dan kita,” kata Karina.
Aku menggelengkan kepala. “Kamu nggak harus seperti itu, Karina. Kamu harus tetap jaga kariermu. Aku sudah memaafkanmu. Asalkan kita kompak, aku sudah bahagia sekali,”
“Terima kasih, Kirana. Kamu memang saudara kembarku yang paling baik,” ujar Karina kemudian memelukku.
Papa dan Mama tak ketinggalan memelukku. Meskipun rasa ngilu sempat menjalar ditubuhku. Tapi itu tak mematahkan kebahagiaanku sekarang. Sekarang aku sudah mendapatkan keutuhan keluarga. Aku tak merasa sendiri lagi. Aku begitu bersyukur atas keberkahan yang Tuhan beri padaku saat ini. Aku harap kebahagiaan ini takkan berhenti sampai disini.


TAMAT