Minggu, 20 Mei 2012

CEMBURU ITU MENYAKITKAN


Aku menatap sepucuk surat yang sejak tadi siang diberikan padaku oleh wali kelasku. Perasaanku penuh dengan rasa senang dan bangga, aku harap orang tuaku juga seperti itu saat membaca isi dalam surat ini. Aku baru saja menjadi juara lomba melukis se-kotamadya dan aku akan maju tingkat se-Jakarta. Aku berharap dengan cara ini, aku sudah mendapatkan sedikit perhatian dari mereka.
Jujur saja, aku merasa tersingkirkan oleh saudara kembarku. Mama dan papa lebih memperhatikan Karina dibandingkan aku. Aku selalu berpikir dengan perbedaan perhatian yang mama dan papa kasih pada kami berdua karena Karina itu lebih cantik, berhati begitu lembut, lebih cerdas, dan dia seorang selebritis yang sedang naik daun. Dan aku berbeda jauh darinya. Meskipun wajah kami mirip, tetap saja kecantikanku tak seberapa dengan kecantikan Karina. Aku ini begitu tomboy, berbeda jauh dengan saudara kembarku yang begitu lembut dan manja. Aku juga tidak secerdas dia, aku hanya memiliki seperempat kecerdasan yang dia punya. Tetapi kalau sudah soal gambar dan melukis, aku jagonya. Buktinya, aku ditunjuk sekolah untuk memenangi beberapa kejuaraan.
Dan karena prestasi dan keseharian kami berbeda, aku bersekolah di SMA Cindera yang tak begitu keren dari sekolah Karina. Dia bersekolah di SMA Sentra Internasional School.
“Aku yakin, pasti kali ini papa dan mama mau datang ke lombaku satu minggu yang akan datang nanti,” kataku sendiri sambil tersenyum senang.
Aku berdiri dari ranjangku, lalu membuka pintu kamar dan berjalan keruang tengah. Disana sudah terlihat papa dan mama yang sedang istirahat sambil menonton televisi. Gerak jalanku semakin semangat saja, kali ini mereka berdua saja tanpa ada Karina yang selalu membuatku sakit hati.
Aku mengambil duduk tepat ditengah mereka berdua.
“Eh, anak papa belum tidur?” sahut papa.
Aku menggelengkan kepala. “Belum, Pah. Oh iya, aku mau kasih surat ini ke kalian,” ujarku lalu memberikan surat itu pada papa. “Aku kemarin menang lagi lomba melukis. Dan aku akan maju ke tingkat yang lebih tinggi. Aku ingin kalian datang ke lombaku nanti. Itu saat-saat terindahku,”
Mama menarik nafas pelan lalu mengelus lembut rambut panjangku yang begitu lebat. “Mama senang sekali kamu bisa menang, Kirana. Kapan acaranya?” ujar mama senang.
Aku tersenyum lebar. “Satu minggu lagi, ma,” jawabku semangat.
“Satu minggu lagi? Berarti itu hari Kamis?” lanjut papa dengan alis yang mulai mengkerut.
“Memangnya kenapa, pa?”
Mama memegang tangan kiriku dengan kedua tangannya. “Kir, kita pasti akan usahakan datang ke lomba itu dan memberi support untuk kamu. Yasudah, kamu tidur gih sana. Ini sudah malam, besok pagi kamu kan harus sekolah,” suruh mama.
Aku mengangguk pelan. “Aku tidur dulu yah pa, ma.” Sahutku, lalu bangkit dan berjalan menuju ke dalam kamar.

***

Esoknya, siang ini rumah begitu sepi. Aku menaruh tasku diatas sofa, lalu ke dapur. Disana terlihat bibi sedang asyik mengiris bawang merah untuk makan siangku. Begitulah kegiatan yang terjadi dirumah saat aku sudah pulang sekolah. Hanya terdengar suara gemericik air dibelakang.
“Bi, mama nemenin Karina lagi?” pertanyaan yang selalu aku lontarkan saat rumah sepi.
Bibi berhenti melakukan aktivitasnya sejenak. “Iya, Non. Non Karina kan hari ini ada syuting iklan terbaru, Non.”
Kenapa sih harus dia terus yang menjadi perhatian? Setiap aku ada lomba aja, mama nggak pernah tuh nemenin aku. Aku ngambil hasil raport aja harus sama bibi. Mama selalu membuat alasan. Dan alasannya itu pasti Karina, nggak ada yang lain. Aku benci Karina! Sampai kapanpun aku tak bisa memaafkan dia!
Aku langsung lari masuk kedalam kamarku, lalu kukunci pintunya. Aku duduk dibelakang pintu sambil menangis dengan sekeras-kerasnya.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!” teriakku. “Kenapa selalu dia? Kapan aku? Aku nggak pernah mendapatkan itu semua. Yang aku ingin sekarang hanya perhatian kalian aja! Aku nggak butuh yang lain!” ujarku lirih sambil terisak-isak.

***

Sarapan pagi ini sama seperti biasanya. Papa, mama, dan Karina asyik berbicang soal kegiatannya dari pagi sampai malam. Dan aku hanya sebagai pajangan belaka. Aku sendiri diam tak berkata. Karina, Karina, dan selalu Karina yang dinomor satukan. Dia selalu diberi vitamin. Sedangkan, aku seperti di tiadakan diantara mereka. Aku hanya dianggap bingkai foto yang tersenyum melihat kebahagiaan mereka.
“Karin, kegiatan kamu hari ini apa saja, nak? Ingat, kesehatan nomor satu,” sahut papa.
“Hari ini aku cuma pemotretan saja kok, Pah. Aku ingat terus kok. Tenang saja, Pah.” Jawabnya sambil memegang sesendok nasi goreng yang akan dimasukkannya kedalam mulutnya.
Aku berdiri hingga kursi yang ku duduki mundur kebelakang, sedikit membuat kebisingan. “Aku berangkat,”
Tanganku tiba-tiba saja dipegang Karina saat aku ingin berbalik, aku langsung berusaha menepisnya.
“Apa?” sahutku singkat tanpa melihatnya.
“Kamu kenapa nggak bareng aku sama mama? Kita kan sudah jarang berangkat bareng lagi sejak kita beda sekolah. Apalagi, sekarang kita sudah jarang sekali berbicara,”
“Nggak usah. Aku bisa kok naik bus,” jawabku kemudian berlalu meninggalkan keluarga yang begitu bahagia jika benar-benar aku tidak ada disana.
Karina berdiri lalu menatap kepergianku. “Kirana, kamu kenapa sih?” tanya Karina sedikit berteriak. Aku tak memperdulikannya dan tetap berjalan keluar rumah.

***

Hari itu tiba, lagi-lagi aku dibuat sedih oleh kedua orang tuaku. Lagi-lagi mereka membuat alasan yang sudah membuat kupingku sakit. Mama, selalu bilang “Hari ini Karin ada syutting, sayang. Mama harus selalu disampingnya. Dia kan masih junior di dunia entertain, jadi dia harus mendapat bimbingan. Mama pasti akan mendoakan yang terbaik untukmu.”. Dan papa, juga selalu bilang “Maaf Sayang, papa nggak bisa datang. Hari ini papa ada meeting, lalu harus menjemput mama dan Karina di lokasi. Lain waktu papa pasti akan usahakana datang ke acara kamu. Semoga kamu menang ya, sayang.”
Semua ini semakin membuatku membenci saudara kembarku itu. Semua perhatian tertuju padanya. Tapi aku masih sedikit bersyukur, karena ada Bi Inah yang  selalu menemaniku dan selalu mendengarkan keluh kesahku. Bi Inah begitu mengerti keadaanku. Tapi tetap saja, aku ingin juga mendapat perhatian dari kedua orang tuaku. Tentu saja itu keinginan semua anak sedunia.
“Non, Bibi datang kesini untuk mensupport non Kirana,”
Aku ternganga mendengar suara itu. Dan aku tau benar siapa dia. Aku menoleh kedepan. Aku tak bisa menyembunyikan kesedihan dan keharuanku sekarang. Aku langsung berlari kearah Bi Inah kemudian memeluknya sambil menangis.
“Bi, kenapa sih nggak ada yang peduli sama aku? Kenapa harus selalu Karina yang nomor satu? Aku capek, Bi. Aku pengin dapat perhatian dari mama papa,” curhatku sambil tersedu-sedu.
Bibi mengelus lembut rambutku. “Non nggak boleh ngomong kayak gitu. Kan sekarang sudah ada Bibi. Non jangan sedih lagi yah,”
Aku melepas pelukan kemudian membersihkan kedua pipiku yang sudah banjir akan air mata dengan punggung telapak tanganku.
“Bi, doain aku yah semoga bisa menang di lomba ini. Agar aku bisa membanggakan sekolahku dan...” aku terdiam sebentar. “Dan terutama bisa membanggakan mama dan papa, Bi.”
Bibi menggenggam kedua tanganku dengan senyum terindahnya. “Bibi pasti selalu doain yang terbaik untuk Non. Semoga orang tua Non bisa menjadi seperti yang Non mau. Ya sudah, sekarang Non jangan sedih lagi. Non harus membanggakan semuanya sekarang. Melukis yang indah ya, Non.” Seru Bibi memberiku semangat.
Aku tersenyum. “Terima kasih yah, Bi.”

***

Di lomba itu, aku melukis seekor burung sedang menatap langit begitu indahnya di sebuah dahan pohon. Dilukisan itu aku tambahkan setetes air mata di pinggir kelopak matanya. Aku sengaja menggambar itu. Itu menggambarkan suasana hatiku sejak dulu hingga kini. Seekor burung yang terasa seperti tinggal seorang diri tanpa ditemani siapapun. Kelompoknya tidak ada yang ingin bersamanya, semua menjauh. Dengan perasaan yang begitu sakit, burung itu menuangkan rasa dihatinya dengan tangisan.
Aku tersenyum haru menatap hasil gambarku. Aku berharap sekali, hasil kreasiku ini bisa membanggakan semua orang. Terutama orang tuaku. Aku merindukan sentuhan mereka, aku merindukan pelukan mereka, aku merindukan semua yang mereka berikan padaku dulu kecil. Tak apa kalau aku harus berpanas-panasan ditengah lapangan seperti ini, yang penting aku mendapatkan inspirasi. Dan tak lupa berdoa agar bisa membanggakan semuanya.
Hanya berselang beberapa menit, lomba itu selesai. Tinggal menunggu hasilnya tiga puluh menit kedepan. Aku menghampiri Bibi yang sedang komat-kamit nggak jelas dipinggir lapangan.
Dahiku mengernyit kemudian mengagetkannya dengan menepuk punggungnya. “Hayo, Bibi lagi ngapain? Kok bibirnya komat-kamit gitu? Lagi baca mantra, Bi?” sahutku dilanjut dengan tawa.
“Eh, Non. Ngagetin aja bisanya,” Bibi menepuk tanganku. “Bibi ini lagi doain kamu biar menang. Kali saja mantra Bibi berhasil,” ucap Bibi cekikikan.
“Ah Bibi ada-ada saja. Yaa... semoga saja aku menang, Bi.”
“Harus optimis ya, Non. Bibi saja optimis kalau Non yang akan menang,” Bibi memberi semangat.
Aku tersenyum menatap Bibi. Terima kasih, Bi. Batinku.

***

“Sore ini saya akan mengumumkan siapa pemenang di acara lomba melukis FL2SN se-Jakarta. Baik, saya tidak akan berpanjang lebar. Saya akan mengumumkan siapa juara-juara yang akan melanjutkan lomba melukis Nasional. Pasti kalian sudah tak sabar kan?” cerocos pembawa acara itu.
Aku terus-terusan berdoa agar aku diberikan jalan untuk dapat membawa piala kerumah. Bibi pun juga tak lepas dari komat-kamitnya. Tapi itu tak menjadi masalah bagiku. Karena Bibi berdoa untuk kebaikan diriku.
Semua penonton  maupun peserta, wajahnya berubah menjadi tegang.
Pembawa acara itu menatap ke sekelilingnya. “Wah sepertinya semuanya tegang yah! Baiklah akan saya umumkan sekarang juga.” Lelaki itu berdehem. “Juara ketiga adalaahh......” dia berusaha membuat panik semua orang. “Ryan Wardana..”
Orang yang memiliki nama yang baru saja disebutkan langsung melangkah maju ketengah lapangan dengan wajah yang berseri-seri. Semua penonton memberikan tepuk tangan dengan begitu semangat.
“Juara keduanya ialah...” lagi-lagi dia membuat aku dan semua penonton harap-harap cemas. “Gerda Simohang..”
Orang yang namanya baru saja dipanggil itu langsung berlari ketengah lapangan sambil menutup wajahnya yang memerah senang. Penonton membuat kegaduhan dengan tepuk tangan mereka.
Aku makin menekuk wajahku. Aku tak begitu yakin lagi aku akan memenangi ini. Karena aku hanya menggambarkan seekor burung yang tak akan dimengerti oleh orang lain. Aku mulai pasrah jika aku tak dapat memenangi lomba ini.
“Dan.. juara pertamanya adalah...” dia menatap semua penonton dan peserta. Semua peserta keringat dingin menanti siapa sang juara. “Zaina,” ucapannya terhenti saat seorang juri menghampirinya dan membisikkan sesuatu yang tak diketahui semua orang.
Ternyata benar aku gagal hari ini. Aku tidak bisa membanggakan semua orang dan orang tuaku. Aku langsung tertunduk.
“Bi, aku nggak menang. Lebih baik kita pulang,” pintaku.
“Non harus optimis dulu! Allah selalu memberikan keajaiban kepada umatnya. Kalau pengumuman selesai, baru kita pulang,” seru Bibi.
“Wah sepertinya ada kesalahan teknis semua. Saya sebelumnya meminta maaf kepada seluruh peserta dan penonton. Baik, saya teruskan kembali. Juara pertamanya yaitu, Kirana Flarinda,” teriak pembawa acara itu saat memberitakan juara pertama.
Aku mengangkat wajahku kemudian ternganga. Aku terdiam. Bibi melompat kegirangan lalu memelukku.
“Alhamdulillah, Non menang.” Teriaknya senang.
“Mana nih yang namanya Kirana Flarinda?”
Bibi menyenggolku. “Non, maju!”
Aku tersadar. “Eh iya, Bi.” Aku kemudian melangkah ketengah lapangan.
Pembawa acara itu terpanah melihatku, begitu juga penonton. “Hhhmm.. kamu bukannya Karina? Artis yang terkenal itu?”
Aku menarik nafas panjang. Kenapa Karina selalu membuat kekacauan sih?
“Aku Kirana, bukan Karina!” seruku.
Pembawa acara itu mengangguk. Mungkin tak mau aku mengamuk.
 Disana para pemenang mendapat piala, piagam, mendali, dan rangkaian bunga. Tetapi aku sudah tidak merasakan kemenangan itu. Bahkan hatiku makin sakit karena Karina anak menyebalkan itu.

***

Ternyata berkat usahaku itu, papa dan mama bisa luluh. Kami sekeluarga pergi bertamasya ke puncak. Tetapi sepertinya semua itu tetap saja percuma dan sia-sia. Mereka tetap memperdulikan Karina dibandingkan aku. Selama diperjalanan, mama, papa dan Karina saling bercengkerama. Dan aku hanya terlihat sebagai patung yang bisa bernafas saja. Walaupun sesekali Karina mengajakku berbicara, tetapi aku selalu menjawabnya dengan jutek. Dan mama selalu marah padaku.
“Kirana, kamu nggak boleh seperti itu sama saudara kembarmu. Diakan tetap saudaramu. Kamu tak boleh memperlakukannya begitu.” Seru mama.
Dan aku hanya diam sejuta kata.
Sesampainya disana, aku makin sakit hati. Ternyata kami bukan bertamasya merayakan keberhasilanku. Tetapi karena Karina ada pemotretan disana. Meskipun malamnya kami ke villa untuk bermalam bersama.
Papa dan mama begitu setia menemani Karina pemotretan. Aku yang hanya ditemani sebatang dahan kayu kemudian pergi dari tempat itu. Menjauh dari mereka. Aku ingin mencari tempat sepi untuk menuangkan semua isi hatiku. Aku berlari sejauh mungkin dengan air mata yang curi-curi kesempatan keluar dari mataku.
Dan akhirnya aku menemukan sebuah tempat yang indah. Diatas sebuah jurang yang tak begitu dalam, aku bisa melihat pemandangan yang begitu indah dari sana. Tetapi yang namanya jurang tetap saja jurang. Aku harus berhati-hati.
Aku duduk dibawah pohon sambil menangis begitu keras. “Kapan mereka berubah? Kapan aku bisa merasakan seperti yang dirasakan Karina? Kapan aku bisa merasakan itu lagi? Aku benci kamu Karina!!” teriakku. “Aku benci ini semua. Aku tak ingin di dunia ini lagi! Kalian bisa lebih bahagia bila tak ada aku,” ujarku lirih.
Aku mendengar ada suara gerak kaki yang akan mendekat, aku mulai menjauh.
“Apa aku punya salah sama kamu sampai kamu membenciku? Maafkan aku Kirana. Aku tak bermaksud mengambil semuanya darimu.” Aku sudah tau pasti siapa dia, Karina.
Aku berdiri lalu berbalik kearahnya kemudian mundur kebelakang.
“Kamu mau ngapain Kir? Kamu jangan nekat seperti itu!” seru Karina yang mulai panik.
“Tanpa ada aku didunia ini, kamu pasti akan lebih bahagia kan? Jadi, lebih baik aku tak ada didunia ini. Aku sudah terlalu sakit hati padamu. Mama dan papa hanya memperhatikanmu. Aku tak pernah mendapatkan itu semua sekarang. Aku yakin, kamu belum puas kalau aku belum mati.”
“Kamu bicara apa sih? Aku tak pernah berfikir seperti itu,”
“Mungkin kamu tak pernah berfikir seperti itu. Tapi itu semua nyata, Kar!” seruku.
Karina berusaha menjangkau ku, tetapi aku semakin menjauh kebelakang. Dan hingga aku terpleset dan jatuh.
Aaaaaaaaaaaaa...........................
Tiba-tiba sebuah tangan berhasil menggapai tanganku. Aku menoleh keatas. Jantungku mulai berdebar begitu kencang dari sebelumnya.
“Kirana, kamu pegang tanganku kuat-kuat,” sahutnya lalu berusaha menarikku keatas jurang.
“Kamu lebih baik lanjutin aktivitasmu daripada menolongku. Aku lebih bahagia mati!”
“Kamu nggak boleh bilang seperti itu.”
“Aku capek! Hatiku sudah terlalu sakit gara-gara kamu! Lepas tanganku!” seruku sambil berusaha melepas tanganku dari genggamannya. “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaa.................
“Kiranaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa...........................”

***

Aku menggerakkan beberapa jariku perlahan.
“Kirana, kamu sudah siuman?”
Aku begitu kenal suara itu. Perlahan aku membuka kedua mataku. Benar saja, aku masih ada didunia menyebalkan ini. Aku fikir, aku sudah di surga. Aku tak perlu merasakan yang namanya sakit hati lagi.
“Kenapa aku masih ada disini?” sahutku pelan.
“Kirana, kamu nggak boleh bicara seperti itu. Aku mau minta maaf sebelumnya sama kamu. Aku sudah merusak kebahagiaan saudaraku sendiri. Kir, kamu mengalami kepatahan pada tangan dan kakimu. Kamu juga mengalami kebocoran di kepalamu, darahnya keluar begitu banyak. Dan kamu harus mendapatkan donor darah. Kamu baru sadar sehari setelah operasi kemarin,” Kata Karina.
Terdengar suara orang membuka pintu. Terlihat mama dan papa datang lalu langsung menyerbuku dan memelukku.
“Kamu nggak apa-apa sayang? Alhamdulillah kamu sudah sembuh,” syukur papa.
Mama menggenggam kedua tanganku kemudian menangis. “Maafin mama, Sayang. Mama tau kenapa kamu bisa begini. Maaf jika mama selama ini selalu mengabaikan kamu. Mama selalu membanggakan saudara kembarmu. Mama mengakui kalau mama salah. Maka dari itu, mama mau minta maaf sama kamu. Mama janji, mama nggak akan ngelakuin itu lagi. Mama akan adil sama kalian berdua. Asalkan kalian bahagia.” Ujar Mama dengan suara purau.
“Papa juga minta maaf sama kamu. Harusnya papa adil sama anak papa sendiri. Ternyata papa selama ini belum bisa menjadi orang tua yang benar untuk kamu. Papa akan berubah untuk kebaikan kita bersama. Tidak ada yang iri dan tidak ada yang merasa dia sendiri. Kita harus kompak,” tambah papa.
Aku mulai mengeluarkan air mata. “Aku kira keadaan ini nggak akan berubah. Aku akan selalu tersingkir,” ujarku sedih. “Ternyata tidak. Aku maafin papa dan mama kok. Aku nggak mau jadi anak yang semakin durhaka. Maafin aku juga yah, Pa, Ma. Selama ini aku belum bisa jadi anak yang baik untuk papa dan mama,” ucapku sambil tersenyum haru.
“Kamu dan Karina sudah menjadi yang terbaik dihati papa dan mama,” jawab mama.
“Kirana, aku minta maaf sama kamu. Aku tau kamu sangat membenciku. Tetapi apakah aku bisa mendapatkan pintu maaf selebar-lebarnya dihatimu? Aku janji, aku akan berhenti menjadi selebritis demi kamu dan kita,” kata Karina.
Aku menggelengkan kepala. “Kamu nggak harus seperti itu, Karina. Kamu harus tetap jaga kariermu. Aku sudah memaafkanmu. Asalkan kita kompak, aku sudah bahagia sekali,”
“Terima kasih, Kirana. Kamu memang saudara kembarku yang paling baik,” ujar Karina kemudian memelukku.
Papa dan Mama tak ketinggalan memelukku. Meskipun rasa ngilu sempat menjalar ditubuhku. Tapi itu tak mematahkan kebahagiaanku sekarang. Sekarang aku sudah mendapatkan keutuhan keluarga. Aku tak merasa sendiri lagi. Aku begitu bersyukur atas keberkahan yang Tuhan beri padaku saat ini. Aku harap kebahagiaan ini takkan berhenti sampai disini.


TAMAT

Jumat, 18 Mei 2012

KENANGAN DAHULU, DATANG KEMBALI


KENANGAN DAHULU, DATANG KEMBALI


“Guys, gue mau kasih satu pengumuman sama kalian. Tolong didenger ya!” ucap Panda yang langsung mendapat perhatian satu kelas. Mereka berhenti melakukan kegiatannya dan menatap Panda didepan kelas dengan saksama. Panda langsung tersenyum lebar. “Dikelas kita sekarang bertambah satu pasangan lagi loh! Selain Hangga sama Hani, Gio sama Siska,  Eko sama Nanda, Luna sama Pactrick, ada satu pasangan lagi yang kebetulan baru jadian kemarin,” jelasnya sambil menyebutkan satu persatu teman dikelas yang sudah berstatus berpacaran.
Ucapan Panda barusan langsung mendapat tatapan penasaran dari semuanya, termasuk aku sendiri. Siapa yang baru jadian? Semoga aja bukan dia, batinku.
“Siapa, Pan? Jangan bikin kita penasaran deh!” teriak Nino sang ketua kelas.
“Gue panggil aja ya mereka,” Panda langsung mengalihkan pandangannya kedepan pintu kelas. “Nathan, Silla, masuk dong!”
Orang yang dipanggil Panda barusan, datang memasuki kelas sambil tersenyum gembira sambil berpegangan tangan. Semua mata melihatnya dengan ternganga. Sedangkan aku? Aku hanya menunduk menerima semua yang telah terjadi kesekian kalinya.
Ya tuhan, aku tak kuat menatapnya. Apa yang harus aku lakukan? Aku nggak mungkin ninggalin kelas. Pasti semua anak-anak tau kalau saja aku masih mencintainya. Ya tuhan, tahankan air mata ini.
Yap, aku ini adalah mantan Nathan dan kami hanya bisa bertahan dua minggu. Ini semua memang kesalahanku. Seandainya saat itu aku tak bersikap jutek padanya, mungkin dia masih menjadi yang kumau. Aku sama sekali tak bermaksud untuk menyia-nyiakannya. Hanya saja, aku masih tak percaya dengan apa yang telah terjadi padaku saat itu. Aku sudah bisa memiliki seseorang yang sebelumnya hanya sebagai sahabatku saja. Aku hanya terpaku dengan ketidak percayaanku, hingga aku tidak menghubunginya dan dia mengucap kata yang tak aku inginkan.
Semua anak-anak langsung bertepuk tangan melihat kedatangan Nathan dan Silla semesra itu. Dan beberapa dari mereka berteriak meminta traktir.
Tya sepertinya sudah tau bagaimana sakit yang tiba-tiba menusukku sekarang. Tya teman sebangku ku. Dia langsung memegang bahuku. “Nay, lo yang sabar ya! Gue yakin elo pasti bisa dapet yang lebih dari Nathan. Elo jangan terus-terusan salahin elo aja, ya!” ujar Tya memberikan motivasi padaku.
Aku menatapnya sambil tersenyum senang. “Thanks ya, Tya. Kalo elo nggak ada disini, gue nggak tau deh gimana gue sekarang,”
Kayaknya ini udah saatnya gue harus ngelupain dia. Gue nggak mau sakit terus ngeliat dia sama cewek lain. Gue nggak mau bikin diri gue sendiri sakit. Nayla, pasti elo bisa kok bangung dari mimpi elo yang akan balikan sama dia, ucapku dalam hati.

***

“Ty, caranya move on gimana? gue capek begini terus,” curhat pada Tya saat sedang berjalan di koridor sekolah. Dan aku menatap lantai-lantai dengan tatapan kosong.
“Kayaknya elo harus cepet-cepet dapet pengganti dia deh! Elo nggak mau kan terpuruk terus? Sedangkan, dia udah berkali-kali gonta-ganti pacar setelah putus dari elo?” kata Tya sambil merangkulku.
Aku mengangguk pelan. “Bener juga sih kata lo. Tapi kan elo tau sendiri, dulu gue udah sempet jadian lagi sama mantan gue. Dan gue tetep aja mikirin dia. Gue nggak mau nyakitin hati orang lagi, Ty,” ucapku lirih.
“Yah maksud gue, elo PDKT aja dulu sama seorang cowok. Dan kalau diotak elo masih ada Nathan, elo jangan lanjutin lagi hubungan elo sama cowok itu. Dan seterusnya begitu sama beberapa cowok lainnya,” terang Tya.
Aku menatapnya aneh, hingga alisku mengkerut. “Elo gila? Mau dibilang apa gue dimata cowok-cowok itu?”
“Lagian gue bingung sih sama elo. Jujur yah, gue baru pertama kali denger cerita serumit ini. Kadang-kadang gerak gerik Nathan kayak masih naksir elo, tapi taunya dia jadian sama cewek lain. Dan itu udah beberapa kali kejadian. Dan elo harus tau, gue bingung!” ucap Tya dengan polosnya.
Aku memeluk Tya dari samping. “Yaah, sorry banget ya, Ty. Gue udah bikin elo ikutan capek dimasalah gue ini. Tapi elo masih mau kan jadi sahabat gue?” aku menatapnya penuh mohon.
Tya tersenyum lalu mencubit pipiku dengan lembut. “Iya tembem. Gue akan tetap jadi sahabat elo kok. Dan gue akan ada disaat suka maupun duka lo,”
Aku dan Tya saling mempererat. “Makasih banget yah,” ucapku.
Saat aku dan Tya akan berbelok, tiba-tiba saja aku ketabrak seseorang yang sedang berjalan. Pelukan aku dan Tya terlepas, pelukan hangat dari sahabat. Secara refleks, aku memegang bahuku yang kesakitan.
“Hati-hati dong kalo jalan. Sakit nih!” gerutuku.
Dia langsung panik dan berusaha memegang bahuku yang kesakitan. “Sakit ya?”
“Iyalah,” aku berusaha menepis tangannya. “Udah jangan pegang-pegang! Nanti bengkak!” ucapku kasar sambil melototinya, lalu pergi meninggalkannya sambil menggandeng Tya yang hanya diam saja.

***

Hari ini benar-benar bikin mood-ku hilang. Aku harus menghadapi Nathan yang baru saja jadian dengan Silla dan mereka terus-terusan bermesraan didalam kelas, bahuku masih terasa sakit karena cowok nggak jelas, dan ditambah sekarang aku harus menunggu bus di halte depan sekolah seorang diri. Biasanya aku pulang bersama Tya, tapi karena kebetulan dia ada ekskul mading, jadi aku harus pulang sendiri.
“Gimana tangan lo?”
Tiba-tiba saja ada mengajakku berbicara, tepat disamping kiriku. Aku menoleh kesumber suara itu. Ternyata cowok nggak jelas tadi pagi.
“Mendingan,” jawabku singkat tanpa melihatnya.
Dia menghela nafas tenang. “Bagus deh kalau gitu! Sorry banget loh tadi. Gue nggak ada maksud buat nabrak lo. Gue tadi memang lagi buru-buru banget.” Ujarnya jujur.
Aku sedikit meliriknya. Sepertinya cowok ini baik. Dan dia terlihat begitu jujur saat berkata barusan. Aku jadi nggak enak kalau harus bersikap dingin kepada cowok ramah seperti dia.
Dia mengulurkan tangan padaku. “Oh iya, kenalin gue Juna. Nama lo siapa?” ucapnya ingin berkenalan.
Aku menyambutnya dengan baik. “Gue Nayla. Elo murid baru?” tanyaku.
Juna mengangguk. “Iya, gue murid baru disini. Pindahan dari Jepara. Dan gue duduk dikelas X2,”
“Gue kebetulan kelas X1,” tambahku lalu melepas tanganku darinya.
Juna melihat kesekeliling. “Elo sendirian? Gue antar pulang aja yah! Nggak baik loh cewek naik bus sendirian,” tawarnya.
Aku sedikit mengkerutkan dahi sambil garuk-garuk kepala yang sebenarnya tak perlu digaruk. “Hhhmm.. gimana ya?” pikirku.
“Ayolah.. Nanti kalau terjadi yang nggak diinginkan gimana? mendingan naik motor gue aja yuk!” pintanya.
Apa salahnya aku menerima ajakan dia? Dia kan juga bermaksud baik. Aku pun mengangguk setuju. Juna langsung berjalan memasuki sekolah kembali untuk mengambil motornya di parkiran dan aku membututinya dibelakang.
Sejak kejadian itu aku mulai dekat dengan Juna. Dia sering mengantar dan menjemputku ke sekolah. Dan setiap istirahat, aku selalu bersama Tya dan Juna. Dilain kesempatan, kami juga pergi ke toko buku bersama.

***

Bel istirahat sudah berbunyi, aku, Tya dan Juna langsung menuju kantin. Setelah memesan makanan, Juna permisi ke toilet sebentar. Aku dan Tya menatap kepergian Juna dengan saksama hingga tak terlihat lagi.
“Gue ngerasa ada yang beda loh, Nay,” ucap Tya.
Aku menatapnya kebingungan. “Apanya yang beda?”
“Sikap dia sama elo itu beda banget sama sikap dia ke gue atau ke cewek yang lain,” jawab Tya sesuai analisa ngawurnya.
Aku menggeleng sambil cekikikan. “Haduh Tya, maksud elo dia suka gitu sama gue? Nggak mungkinlah. Lagian elo tau kan kalo gue baru 70% move on dari Nathan? Jadi gue nggak bisa terima cinta dia. Dan gue pikir analisa aneh elo itu salah deh,”
“Tapi tapi, gue punya satu analisa lagi,” ujar Tya sambil membenarkan duduknya.
Aku memang tau benar kalau sahabatku yang satu ini paling hobi ngeluarin analisa tentang tingkah laku seseorang disekelilingnya. “Apa lagi?”
“Nanti kalau Juna dateng kesini, elo ajak dia ngobrol. Dan elo coba lirik ke belakang,” perintah Tya.
“Ngapain? Elo dari tadi ngomong nggak bener mulu deh! Gue nggak ngerti maksud elo apa,”
Tiba-tiba Juna sudah datang setelah dari toilet tadi. “Hay, lagi pada ngobrolin apa nih? Masa gue nggak diajak?” sahutnya.
Aku dan Tya tersenyum. “Ini urusan cewek,” ujar kami bebarengan lalu bertos bersama. Kami langsung tertawa bersama.
“Iya deh gue ngalah. Eh iya Nay, barusan gue kebetulan ngeliat mading. Disana ada pengumuman tentang acara valentine’s day disekolah dan setiap yang datang ke acara itu harus bawa pasangannya masing-masing,” jelas Juna.
“Terus?” tanyaku.
Dia terdiam sejenak. “Hhhmm.... elo mau nggak dateng ke acara itu sama gue?”
Aku tersentak kaget. Juna ngajakin aku ke acara valentine’s day? Dan itu tinggal tiga hari lagi?, tanyaku dalam hati. Aku jadi terdiam.
Juna tertawa kecil lalu mengacak-acak rambutku dengan lembut. “Elo nggak harus jawab sekarang kok. Tenang aja, Lek,” ujarnya.
“Cepetan liat kebelakang,” bisik Tya yang menyuruhku saat Juna sedang mengacak-acak rambutku. Dan aku menurut. Pemandangan yang kulihat membuatku tersentak kaget kedua kalinya, kali ini sampai aku salah tingkah dan tiba-tiba saja jantungku berdetak begitu cepat.
Juna melepas tangannya. “Ngeliat apaan sih kalian?” tanyanya.
“Ah, nggak. Cuma ngeliat kucing yang lagi makan makanan jatuh tuh dibelakang. Kayaknya kasian banget yah kucing itu,” jawab Tya berbohong, tetapi memang ada pemandangan itu pula saat aku melihat kebawah.
Aku berbalik dan menunduk. Ini apalagi ya tuhan? Mengapa tiba-tiba Nathan menatapku dengan tatapan detektif begitu? Aku nggak mau kejadian kemarin-kemarin terulang kembali. Disaat dia beberapa kali kepergok sedang menatapku dan menulis status di facebook yang seperti ditujukan padaku, bahwa dia masih menyayangiku. Dan itu semua hanya kesenangan sesaat untukku. Dia langsung memiliki perempuan lain.
Tak lama pesanan kami bertiga datang. Dan aku masih melamun dengan tatapan kosong.
“Tya, Nayla, dimakan yah ketopraknya. Kan jarang-jarang gue traktir kalian, hehe,” candanya.
“Lagi kesambet apaan lo baik sama kita?” tambah Tya.
Juna tertawa. “Udahlah makan aja. Nayla, jangan dipelototin aja, dimakan,”
“Biarin aja Nayla mah. Nanti juga dimakan,” ujar Tya menenangkan Juna, takut-takut berpikiran aku tak suka ditraktirnya.

***

Valentine’s Day!!! Aku menerima ajakan Juna untuk datang bersamanya. Menurutku, tak ada salahnya aku menerima ajakan Juna. Datang sebagai pasangan disebuah acara valentine belum tentu harus sebagai sepasang kekasih kan?
Juna datang menjemputku dirumah lalu mengegas motor ninja hijaunya menuju sekolah. Sesampainya disana, aku asik ngobrol dengan Juna. Dan sesekali kami merasa cemburu pada pasangan yang saling bertukar kado. Ada yang memberi cokelat yang begitu special, bunga mawar, cincin, kalung, boneka, dan lain-lain.
Tiba-tiba saja Nathan datang menghampiri kami.
“Jun, gue boleh minjem Nayla-nya dulu? Gue perlu bicara samadia sebentar,” ujarnya.
Rasa salah tingkahku secara tiba-tiba saja datang. Itulah setiap yang kurasakan saat melihat Nathan, apalagi bersamanya.
Juna mengangguk pasrah. “Kalian bicara aja dulu,”
Nathan menarik tanganku menuju belakang sekolah yang kebetulan itu danau tempat biasa aku bersama Nathan saat kami masih menjadi sahabat dulu.
Yap, sebelum kami jadian dulu, kami berdua adalah dua orang sahabat yang begitu akrab. Dan aku sebenarnya sudah bertahun-tahun memiliki rasa padanya. Sekitar beberapa bulan lalu, aku baru bisa mendapatkannya dan itu tak lama. Aku masih merasakan bagaimana sakitnya dulu dan indahnya dulu. Memori itu masih begitu terkenang dihatiku sampai sekarang.
“Nay, gue perlu bicarra sama lo,” ujarnya.
“Ngomong aja,” jawabku singkat.
Nathan menarik nafas panjang, lalu dibuangnya. “Gue perlu jujur sama elo. Jujur, gue masih sayang sama lo. Gue cemburu saat elo deket sama Juna. Dan dulu gue putusin elo, itu karena gue ngerasa elo udah nyia-nyiain gue. Gue nggak mau pacaran tapi kayak nggak pacaran begitu. Jadi, saat itu gue ambil keputusan itu,” terang Nathan dan langsung mendapatkan setetes air mata dariku.
“Dan gue juga mau jujur sama lo. Dulu, gue nggak ada maksud untuk nyia-nyiain elo. Gue cuma masih terpaku dengan pikiran gue. Kenapa sih elo bisa suka sama gue? Gue nggak bisa se-perfect mantan-mantan lo. Gue terlalu banyak kekurangan, dan dulu sampai sekarang gue masih merasa kalau gue nggak bisa se-perfect mereka,” cerocosku sambil menangis. Air mataku memang sudah tak bisa tertahan lagi.
“Elo perlu tau, Nay. Gue sayang sama lo begitu tulus. Gue sayang sama lo apa adanya, bukan ada apanya. Dan dari kekurangan itu, menjadi kelebihan elo dihati gue. Gue nggak perlu cewek perfect, gue perlu cewek apa adanya dan dia menerima gue apa adanya pula. Gue udah coba ngelupain elo dengan cara jadian sama beberapa cewek. Tapi tetep aja, bayangan elo selalu ada diotak gue. Apalagi saat ngeliat elo mesra-mesraan sama Juna. Rasanya hatiku kayak ketusuk duri,”
“Elo juga perlu tau, gue sayang sama elo udah lama banget. Sejak beberapa tahun yang lalu, saat kita sahabatan kelas tujuh semester dua dulu,”
Nathan memegang kedua tanganku. “Elo mau jadi pacar gue lagi?” tanyanya.
“Cewek lo?” tanyaku lagi.
“Dia udah gue putusin dari kemarin. Gue nggak mau bohongin perasaan gue terus,”
Aku tersenyum. “Gue mau jadi pacar lo lagi,”
Nathan langsung memelukku begitu erat, akupun juga begitu.
Aku sangat merindukan ini. Saat aku bisa jujur tentang perasaanku padanya. Saat aku bisa begitu dekat dengannya. Ini adalah hari valentine yang begitu indah bagiku. Valentine ini takkan kulupa, akan selalu kuingat. Disaat aku sudah tidak membohongi perasaanku yang begitu mendalam pada Nathan. Kuharap kebahagiaan ini terus terjadi selamanya.

TAMAT

Selasa, 08 Mei 2012

JUJUR LEBIH BAIK


“Canthaaaa.....” teriak mama sambil mengetuk pintu kamar anak bungsunya. “Aras sudah datang tuh! Lama banget sih. Awas yah sampe telat, ini kan hari pertama kamu masuk sekolah,” cerocos mama.
Acantha yang sedang memakai sepatu langsung menghentikan aktivitasnya lalu menghela nafas mendengar ocehan mamanya. “Iya mama. Ini juga lagi pake sepatu kok,” jawabnya lalu mengikat tali sepatunya.
Hanya berselang waktu beberapa menit, Acantha telah selesai mengikat tali sepatunya. Dia pun langsung berjalan keluar kamar menuju ruang makan. Disana terlihat mama, papa, kak Dion, dan Aras sedang duduk sambil menikmati sarapan masing-masing. Cantha mengambil ancang-ancang duduk tepat disamping kak Dion.
“Pagi semua... Wah kayaknya enak nih sarapan pagi ini,” Cantha berbasa-basi, lalu mengambil roti dan langsung ditambahkan selai coklat kesukaannya. “Aras, kalau nanti gue ngerepotin elo nggak apa-apa kan? Kan elo yang udah setahun sekolah disana,” sahut Cantha sambil mengangkat alisnya sedikit merayu.
Aras dan Acantha sudah bersahabat sejak kecil. Meskipun mereka terbilang mempunyai umur yang berbeda setahun, Aras lebih tua daripada Acantha. Tetapi persahabatan mereka tak pernah pudar. Buktinya hari ini Aras bersedia berangkat bersama Cantha yang baru saja masuk menjadi murid baru disekolahnya. Sedangkan kak Dion, dia sudah kuliah S1 di Universitas Moestopo, Jakarta.
“Ya elah Can, elo mah emang sering ngerepotin orang,” ledek kak Dion yang sedang menyantap nasi goreng miliknya.
“Hahaha... bener tuh. Kali-kali kek usaha sendiri,” sambar Aras.
Acantha makin cemberut saja, mukanya masam. Kakaknya yang melihat muka jeleknya Acantha, langsung merangkulnya. Mama dan papa hanya menggelengkan kepala melihat tiga anak ini.
“Gitu doang cemberut lo! Gimana cowok mau kecantol sama lo?! Hahaha”
“Tau ah. Bikin orang nggak mood aja lo,” kesal Cantha.
“Iya iya, nanti gue ajak elo keliling sekolah deh! Berenti dong cemberutnya, muka lo udah jelek makin jelek tuh,” ujar Aras yang masih meledek Cantha.
Acantha berdiri dari duduknya. “Mau berangkat sekarang atau gue berangkat sendiri?” katanya memberi pilihan pada Aras.
Aras langsung buru-buru meminum segelas susu yang telah disuguhkan untuknya. “Tante, om, saya sama Cantha berangkat dulu ya,” ucap Aras sambil berpamitan.
“Hati-hati yah,” ujar mama dan papa bersamaan.

***

Acantha yang masih merasa asing dengan suasana sekolah barunya ini, terus saja memandang sekeliling tempat yang ia lewati. Tak lupa Aras yang selalu ada untuk Cantha berada disampingnya sambil merangkulnya. Aras sedang memperlihatkan dan menunjuk satu persatu ruangan yang ada di SMA Avicenna ini, yang selalu mendapat anggukan mengerti dari Cantha. Dan sekarang berakhir di kantin belakang sekolah.
“Nah ini kantin disini. Sekarang elo udah tau kan seluk beluk sekolah ini? Gimana?” jelas Aras.
Cantha masih melihat sekeliling dari kiri hingga kanan. “Keren juga ini sekolah,”
Aras tersenyum senang. Tak percuma dia terus-terusan menawarkan Cantha masuk ke sekolahnya. “Semoga elo seneng deh ada disini. Oh iya, gue kenalin ke temen-temen gue yuk!” kata Aras lalu menarik tangan Cantha ke dalam kantin.
Aras menghampiri dua orang cowok dan seorang cewek. Mereka terlihat sedang asik bercengkrama.
“Hai guys, kenalin nih sahabat gue kecil namanya Acantha.” Ujar Aras kepada temannya. “Can, kenalin nih Fera, Andre, Wisnu,” terang Aras.
“Cantha,” salamnya mulai dari Fera, Andre, lalu Wisnu. Dan mendapat senyuman termanis dari mereka.
“Ras, elo kenapa nggak bilang dari dulu punya temen yang cantik kayak dia,” ujar Andre yang berada tepat disamping Aras.
Tiba-tiba saja pipi Cantha memerah. Dia berusaha menyembunyikan itu dengan sedikit menunduk.
Mata Aras melotot pada Andre. “Apa-apaan sih lo. Cewek mulu yang dipikirin,”
“Cantha, elo dari SMP mana?” tanya Fera bersahabat.
“Gue dari SMP Kusuma,” jawab Cantha.
Bel bertanda masuk pun berbunyi.
“Nanti elo mau kan ikut kita latihan nge-band?” ajak Andre.
“Boleh-boleh,” jawab Cantha bersemangat.
Andre tersenyum senang. “Yaudah kalo gitu, sampai ketemu nanti siang yah,” Andre, Wisnu, dan Fera pergi menuju kelasnya.
“Gue anter ke kelas ya!” pinta Aras dan Cantha mengangguk. “Kalo nanti pas MOS ada apa-apa, elo sms gue aja. Jangan sampe nggak!” suruh Aras.
“Siap, pak.” Jawab Cantha sambil hormat.

***

Acantha diajak pergi ke sebuah studio musik tempat biasa Aras dan kawan-kawan latihan nge-band. Apalagi yang ngajak duluan itu Andre. Nggak tau kenapa ya, gara-gara gombalan dia tadi pagi bisa bikin Cantha klepek-klepek. Dan temen-temen baru dikelasnya juga ngomongin Andre yang terlihat cool itu.
Andre yang memiliki tubuh atletis, hidung mancung, dan ganteng ini sudah otomatis menjadi tipe idaman cewek banget. Dan Cantha berdoa sekali kalo Andre belum ada ada yang punya alias jomblo. Dengan begini kan dia bisa melakukan pedekate, hihi...
Didalam ruangan, Acantha duduk sambil mendengarkan lagu demi lagu yang terus dimainkan mereka. Cantha nggak nyangka banget kalo Aras itu jago banget main gitarnya, karena dia disini menjadi bassis. Tetapi tetap saja yang menjadi perhatiannya itu seorang drummer yang baru saja tadi pagi menggombalinya.
Setelah selesai latihan memainkan beberapa lagu, mereka beristirahat. Cantha sudah menyediakan beberapa air mineral untuk mereka. Cantha berdiri lalu mendekati Andre.
“Ndre, nih minumnya. Pasti capek dari tadi latihan,” kata Cantha sambil menyodorkan sebotol air mineral.
Andre tersenyum manis. Dan itulah yang ingin dilihat Cantha sekarang. Senyum terindah dari Andre yang akan dia save didalam otaknya. “Thanks ya, Can,” jawab Andre sambil mengambil air mineral itu dari tangan Cantha lalu diminumnya hingga habis.
“Masih haus?” tanya Cantha sambi mengkerutkan keningnya.
“Nggak kok,”. Tiba-tiba handphone miliknya bunyi, lalu langsung diangkatnya didepan Cantha. “Ada apa sayang? Aku baru selesai latihan. Apa? Temenin belanja? Yaudah habis ini ya, sayang. Nanti aku hubungin lagi. Bye sayang,” ujarnya lalu matikan telefonnya.
Mata Cantha tiba-tiba berkaca-kaca. Ternyata perkiraannya salah besar. Andre sudah ada yang punya. Rasanya seperti ada jarum yang menusuk-nusuk hatinya. Baru kali ini dia merasakan yang namanya patah hati dan baru kali ini Cantha mengetahui bagaimana rasanya patah hati, rasanya begitu sakit. Ingin rasanya Cantha menuangkan perasaannya sekarang dengan menangis. Tapi itu tak mungkin.
Cantha mendekati Aras yang sedang asik bersenderan di sofa.
“Ras, gue mau pulang,” rengek Cantha sambil berbisik.
“Kenapa? ko tiba-tiba gini?” tanya Aras.
“Pokoknya gue mau pulang!!” jawab Cantha kekeuh.
“Yaudah deh kita pulang. Tapi nanti elo ceritain ya alesannya kenapa,” pinta Aras dan Cantha mengangguk.
Aras dan Cantha berpamitan pulang kepada Fera, Wisnu dan Andre dengan alasan mamanya Aras minta ditemani belanja sekarang juga. Karena tak ada alasan lain agar mereka cepat pulang.

***

Saat dimobil, Cantha hanya terpaku diam sambil melamun. Aras yang melihatnya mulai merasa resah. Bingung dengan keadaan Cantha sekarang.
“Cantha, elo nggak apa-apa kan?” tanya Aras.
Cantha menggelengkan kepala seperti patung.
“Elo cerita dong sama gue! Jangan diem begini. Nanti kalo gue diinterogasi sama ortu lo gimana?” ujar Aras makin bingung.
“Kayak gini ya rasanya patah hati? Ini patah hati atau bukan ya? Masa cuma karena digombalin gue bisa begini?” kata Cantha yang masih bertanya-tanya dengan perasaannya sekarang.
Aras kaget dan masih dengan kebingungannya. “Maksud lo?”
“Gue nggak tau gue jatuh cinta sama Andre atau nggak. Apa ini karena gue pertama kali digombalin cowok? Tapi pas gue tau dia udah punya cewek, gue ngerasa hati gue sakit banget,”
“Jadi?”
“Elo bisa kan ngehibur gue untuk akhir-akhir ini? Yang gue butuh sekarang cuma hiburan dan cowok yang bisa mencintai gue dengan tulus. Gue nggak mau ngerasain sakit hati lagi,” ujar Cantha yang tiba-tiba menangis begitu deras.
Aras sudah lama tidak melihat Cantha menangis lagi, dan itu membuatnya senang. Tapi sekarang dia melihat air mata itu lagi. Apalagi sekarang hanya untuk seorang cowok dan itu untuk Andre. Rasanya dia ingin menjadi Andre yang sudah ditangisi Cantha. Aras berusaha tegar dan ingin menjadi penyemangat untuk perempuan yang dicintainya.
“Gue bisa ko ngehibur elo. Tenang aja ya Cantha, cowok disana masih banyak yang lebih baik dari Andre dan bisa menjadi yang terbaik buat elo. Udah ya jangan nangis lagi,” kata Aras sambil mengusap-usap rambut Cantha.
“Makasih ya, Ras,”
Tiga puluh menit kemudian, Aras sudah memakirkan mobilnya didepan rumah Cantha. Saat Aras menengok kearah Cantha, ternyata dia tertidur disana. Aras tersenyum. Cantha begitu cantik jika tertidur. Aras mengambil tisu lalu membersihkan air mata yang masih membasahi pipi dan kedua mata Cantha.
“Andai aja elo tau Can, gue sayang banget sama lo. Gue udah sayang sama lo dari dulu kecil. Tapi elo kan tau gue, gue nggak berani nyatain cinta ke cewek. Apalagi cewek itu elo. Gue takut banget elo nolak gue dan kita nggak bisa kayak gini lagi. Gue cinta sama lo sangat tulus dari lubuk hati gue paling dalam,” terang Aras seperti berbicara sendiri.
Tiba-tiba Cantha membuka kedua matanya lalu membenarkan posisi duduknya. Aras begitu kaget dan shock.
“Bener apa yang lo bilang barusan?” tanya Cantha.
“Elo denger semuanya?” Aras makin shock saja.
Cantha mengangguk. “Sebenernya tadi gue beneran tidur. Eh tiba-tiba gue ngerasa ada yang bersihin air mata gue. Yaa jadinya gue bangun tapi masih merem,” jawab Cantha jujur. “Kalo boleh jujur sih ya, gue dari dulu juga suka sama lo. Tapi gue juga nggak mau ngerusak persahabatan kita yang udah terjalin dari kecil ini. Jadi, gue  berusaha ngilangin perasaan gue itu,”
“Dan sekarang elo nggak punya perasaan yang sama ke gue lagi,” tambah Aras dengan sedikit bersedih.
“Perasaan itu masih ada. Dan gue pikir-pikir lagi, ternyata gue nggak suka sama Andre. Dia cuma pelarian gue aja dan gue hanya sekedar kagum sama dia,” jawab Cantha malu-malu.
Aras tersenyum lebar lalu memegan kedua tangan Cantha. “Elo mau jadi cewek gue?” tanyanya.
Lagi-lagi Aras tersenyum lebar berkat Cantha. Dia mengangguk.
“Gue mau kok jadi cewek lo,”
Aras langsung memeluk Cantha begitu kuat. Aras begitu mencintai Cantha, dan sebaliknya. Keduanya selama ini hanya tak ingin jujur akan perasaan mereka. Tetapi sekarang perasaan yang sudah ada sejak dulu bisa terbalaskan dengan bahagia.